Bismillahirrohmaanirrohiim

Kamis, 19 Desember 2013

Sunnah Sunnah Ketika Berdiri Dalam Shalat



SUNNAH-SUNNAH KETIKA BERDIRI DALAM SHALAT:


01}. MENUNDUKKAN KEPALA DENGAN MENGARAHKAN PANDANGAN KETEMPAT SUJUD.
(HR. Al-Baihaqiy)

عن عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ التِّنِّيسِيُّ ، عَنْ زُهَيْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : " دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُودِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا " .
{رواه ابن حبان في صحيحه : 4 / 332. والحاكم في المستدرك : 1 / 652. والبيهقي : 5/ 158. وصححه الألباني في " صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم}.

Dari Amrin bin salamah Al Tuniisiiy, dari Zuhair bin Muhammad, dari Musa bin 'Uqbah, dari Salim bin Abdillah, dari Aisyah radliyyallaahu 'anha, beliau berkata :

Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallama masuk Ka’bah (untuk mengerjakan shalat, pen.) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari Ka’bah.”
(HR. Al-Hakim 1/479 dan Al-Baihaqi 5/158. Kata Al-Hakim, “Shahih di atas syarat Syaikhan.” Hal ini disepakati Adz-Dzahabi. Hadits ini seperti yang dikatakan keduanya, kata Al Bani. Lihat Ashlu Shifah : 1/232)

وعَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ قَالَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ كَانَ يَقْلِبُ بَصَرَهُ فِي السَّمَاءِ فَنَزَ لَتْ هَذِهِ اْلآيَـــَةُ : وَالَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. فَطَأْطَأَ رَأْسَهُ .
{رواه أحمدفي كتاب الناسخ والمنسوخ}.

وفي رواية : عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ قَالَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ كَانَ يَقْلِبُ بَصَرَهُ فِي السَّمَاءِ فَنَزَ لَتْ هَذِهِ اْلآيَـــَةُ : وَالَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. فَطَأْطَأَ رَأْسَهُ . وكانوا يستحبون للرجل أن لا يجاوز بصره مصلاه.
{رواه سعيد بن منصور بنحوه بزيادة. وهو حديث مرسل}.

Dari Ibnu Sirin, ia berkata, “ Bahwa Nabi Shalallaahu 'alaihi wasallama memutar-mutar pandangannya ke langit (keatas) dalam shalat, maka turunlah ayat :

وَالَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ | alladzinahum fii sholaatihim khaasyi’uuna.
(QS. Al Mu'minun : 2)

sesudah itu iapun menundukkan kepalanya dalam shalat.”

Dan Sa'id bin Manshur dalam Kitab Sunannya menambahkan sebuah tambahan kalimat yang berbunyi :

Dan mereka suka pada seseorang apabila tidak mengalihkan pandangan matanya keselain tempat sujudnya.
(Hadits Mursal Riwayat Ahmad dalam Kitab Al Naasyikh Wa Al Mansyukh. Dan Sa'id bin Manshur dalam Kitab Sunan-nya hadits yang semakna dan menambahkan kalimahnya)

Dan dari sebagian pendapat Ulama-ulama Salaf Imam Abdur Razzaq Al Shan'aniy menuturkan pendapat-pendapat itu dalam kitab beliau Al Mushonnaf, diantaranya :

1). Dari Abi Qilabah beliau mengatakan : Aku bertanya kepada Muslim bin Yasar, dimana mata bertumpu ketika shalat? Abi Qilabah menjawab : Ditempat ketika akan sujud itu bagus.

2). Dari Ibrahim Al Nakha'iy sesungguhnya beliau menyukai orang shalat yang apabila orang yang sedang shalat itu tidak mengalikan pandangan matanya dari tempat sujudnya.

3). Dari Ibnu Siiriin beliau menyukai apabila seseorang mengarahkan pandangan matanya disekitar tempat sujudnya.
{Lihat Kitab Al Mushonnaf Karya Imam Abdur Razaq : 2/ 163}


وعن بعض السلف ذكرها الإمام عبد الرزاق الصنعاني في " المصنف " ، ومنها :

1 . عن أبي قلابة قال : سألت مسلم بن يسار أين منتهى البصر في الصلاة ؟ فقال : إن حيث تسجد حسن .

2 . عن إبراهيم النخعي أنه كان يحب للمصلي أن لا يجاوز بصره موضع سجوده .

3 . عن ابن سيرين أنه كان يحب أن يضع الرجل بصره حذاء موضع سجوده .
{انظر كتاب مصنف للإمام عبد الرزاق : 2 / 163}.

Al-Imam Malik Al Ashbahiy Al Madaniy berpendapat, pandangan diarahkan ke kiblat.

Al-Imam Asy-Syafi’i dan orang-orang Kufah berpandangan disenanginya orang yang shalat melihat ke tempat sujudnya karena yang demikian itu lebih dekat kepada kekhusyuan.

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy yang bermadzhab Hanbaliy menyukai orang yang shalat apabila mengarahkan pandangan matanya ketempat sujudnya. Imam Ahmad mengatakan dalam riwayat Hanbal : Khusyu' dalam shalat yaitu apabila dia mengarahkan pandangan matanya ketempat sujud. Dan semua itu diriwayatkan dari Muslim bin Yasar dan Qatadah.
{Lihat Kitab Al Mughniy Karya Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hanbaliy : 1/ 370}

وقال ابن قدامة : يستحب للمصلي أن يجعل نظره إلى موضع سجوده ، قال أحمد - في رواية حنبل - : الخشوع في الصلاة : أن يجعل نظره إلى موضع سجوده ، وروي ذلك عن مسلم بن يسار , وقتادة .
{انظر كتاب المغني للإمام ابن قدامة الحنبلي : 1 / 370}.

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullaah dalam Shahihnya menyebutkan : “Bab Raf’ul bashar ilal imam fish shalah (mengangkat pandangan ke imam di dalam shalat). Lalu beliau membawakan beberapa hadits yang menunjukkan bahwasanya para shahabat dahulu melihat kepada Rasulullah n dalam keadaan shalat pada beberapa kejadian yang berbeda-beda. Seperti riwayat Abu Ma’mar, ia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab radliyyallaahu 'anhu, “Apakah dulunya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallama membaca Al-Qur’an saat berdiri dalam shalat dhuhur dan ashar?” Khabbab menjawab, “Iya.” “Dengan apa kalian mengetahui hal tersebut?” Khabbab menjawab lagi, “Dengan melihat gerakan naik turunnya jenggot beliau.”
(HR. Bukhariy no. 746)

Demikian pula kabar tentang shalat gerhana matahari seperti yang diberitakan Abdullah bin Abbas . Di dalamnya disebutkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah , “Wahai Rasulullah, dalam shalat tadi kami melihatmu mengambil sesuatu pada tempatmu, kemudian kami melihatmu tertahan (tidak jadi mengambilnya).”
(HR. Bukhariy no. 748)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalaniy Al Syafi'i berkata : “Memungkinkan bagi kita memisahkan antara Imam dan Makmum. Disenangi bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum, kecuali bila ia butuh untuk memerhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam, pen.). Adapun orang yang shalat sendirian, maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat sujud). Wallahu a’lam.”
(Lihat Kitab Fathul Bari Syrhu Shahih Al Bukhariy : 2/301)


02}. TIDAK MENGANGKAT PANDANGAN KEATAS.
(HR. Muslim)

وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ في الصلاة أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.
{رواه مسلم : 965}

Dari Abi Hurairata radliyyallaahu 'anhu : Sesungguhnya Nabi shalallaahu 'alaihi wasallama telah bersabda :

Hendaklah orang-orang itu sungguh-sungguh menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit dalam shalat, atau sungguh-sungguh akan disambar pandangan-pandangan mereka.”
(HR. Muslim no. 965)

وفي رواية عن جابر بن سمرة رضي الله عنه : لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرجِعُ إِلَيهِم.
{رواه أحمد. ومسلم واللفظ له رقم : 966، والنسائي}.

Dari Jabir bin Samurah radliyyallaahu 'anhu :

Hendaklah orang-orang itu sungguh-sungguh menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit ketika dalam keadaan shalat, atau (bila mereka tidak menghentikannya) pandangan mereka itu tidak akan kembali kepada mereka.”
{HR. Ahmad. Muslim no. 966. Dan Nasa'i}

أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.
{رواه الجماعة إلا مسلما والترمذي}

Bahwa Anas bin Malik menceritakan kepada mereka : Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:

Kenapa orang-orang itu mengangkat matanya ke langit di dalam shalatnya, " dan perkataan beliau semakin meninggi hingga beliau mengatakan, "mereka benar-benar berhenti dari itu atau mata mereka akan disambar oleh petir (dibutakan matanya)."
(HR. Ahmad dan Jama'ah Ahlu Hadits kecuali Imam Muslim dan Imam Tirmidzi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullaahu ta'ala 'anhu mengatakan :

Hadits ini menunjukkan larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dalam masalah tersebut.”
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim : 4/372)

Menurut Qadhi ‘Iyadh Al Malikiy : “Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a, dan bukan ketika shalat. Menurut Syuraih dan ulama lainnya itu dilarang. Namun mayoritas mereka membolehkannya dan mereka berpendapat, langit adalah kiblat atau arah untuk berdo’a, sebagaimana Ka’bah kiblat dalam shalat. Mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang mengangkat tangan dalam berdo’a”.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ.
{سورة الذاريات : 51/ 22}

Di langit rezekimu dan apa yang kau janjikan.
(QS. Adz-Dzariyat : 51/ 22)


03}. TiIDAK MELIHAT SESUATU YANG DAPAT MELUPAKAN, MENGECOHKAN, ATAU MENGACAUKAN KEKHUSYU'AN SHALAT.
(HR. Bukhari)

A. Hal-hal yang dapat mengecohkan shalat :

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ : كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لَا تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلَاتِي.
{رواه البخاري رقم الحديث : 374 و 5959}.

Telah menceritakan kepadaku Abu Ma'marin Abdillah bin 'Amrin, dia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abdu Al Warits, dia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abdu Al 'Aziz bin Shuhaibin, dari Anas radliyallaahu ’anhu ia berkata : Dulu ’Aaisyah punya kain tipis yang ia pakai untuk menutupi samping rumahnya. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

“Jauhkanlah ia dariku. Sesungguhnya ia senantiasa tergambar dan terlintas dalam shalatku”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 374 & 5959].

وحَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : " قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يُصَلِّي فِي خَمِيصَةٍ ذَاتِ أَعْلَامٍ ، فَنَظَرَ إِلَى عَلَمِهَا ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ ، قَالَ : اذْهَبُوا بِهَذِهِ الْخَمِيصَةِ إِلَى أَبِي جَهْمِ بْنِ حُذَيْفَةَ ، وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيِّهِ ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا فِي صَلَاتي. {رواه مالك 1/ 91. واحمد رقم الحديث : مسلم واللفظ له رقم الحديث : 869. والنسائي : 2/ 72. وابن ماجة رقم : 3550. والبيهقي 2/ 423. وأبو عوانة : 2/ 24}

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat dengan mengenakan khamishah (baju) yang ada gambarnya. Ketika selesai dari shalatnya, beliau bersabda :

“Pergi dan berikanlah khamishah ini kepada Abu Jahm bin Hudzaifah, dan berikanlah aku baju anbijaniyyah (baju biasa), karena khamishah tadi telah membuat tidak khusyu’ dalam shalatku.
[HR. Malik : 1/ 191. Ahmad. Al-Bukhaariy no. 373, Teks Hadits Muslim no. 556, An-Nasaa’iy : 2/72, Ibnu Majah no. 3550, Abu ‘Awaanah : 2/24, dan Al-Baihaqiy : 2/423].

Keterangan :

Baju Anbijaaniyah( آلأَنْبِجَانِيّة ) yang diminta Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah baju yang tidak bergambar, sedangkan Khamishah (الْخَمِيصَةِ) adalah baju yang bergambar.


Al Imam Al-Qasthalaaniy rahimahullah berkata dalam permasalahan ini :

وإذا كانت الصّور تلهي المصلّي ، وهي مقابلة ، فأولى إذا كان لابسها

”Apabila gambar yang terletak di depannya itu bisa mengganggu kekhusyukan orang yang sedang shalat, maka lebih-lebih lagi jika gambar itu ia kenakan.
[Lihat Kitab Irsyaadus-Saariy Syarhu Shahihu Al Bukhoriy Karya Imam Al Qashthalaniy : 8/484].

Al Imam Al-’Ainiy Al Hanafiy rahimahullah mengomentari pemberian judul bab Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya : ‘Karaahiyyatush-Shalaah fit-Tashaawiir’; dengan perkataannya :

أي : هذا باب في بيان كراهية الصّلاة في البيت الذي فيه الثياب ، التي فيها التصاوير ، فإذا كرهت في مثل هذا ، فكراهتها وهو لابسها أقوى وأشدّ

”Yaitu : Bab ini merupakan penjelasan tentang dibencinya shalat di dalam rumah yang terdapat padanya pakaian bergambar. Jika yang seperti ini saja dibenci, maka kebencian tersebut lebih kuat dan keras jika ia mengenakan pakaian (yang bergambar).
[Lihat Kitab Umdatul-Qaariy Syarhu Shahihu Al Bukhariy Karya Al Imam Al 'Ainiy Al Hindiy Al Hanafi : 4/74].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ قَالَ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّهُ كَانَ لَهَا ثَوْبٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ مَمْدُودٌ إِلَى سَهْوَةٍ فَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَيْهِ فَقَالَ أَخِّرِيهِ عَنِّي قَالَتْ فَأَخَّرْتُهُ فَجَعَلْتُهُ وَسَائِدَ.
{رواه مسلم}

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Abdurrahman bin Al Qasim ia berkata; Aku mendengar Al Qasim bercerita dari ‘Aisyah bahwa Aisyah memiliki kain bergambar yang membentang sampai ke raknya. Dan Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pernah hendak sholat menghadapnya, maka kemudian beliau bersabda: “Singkirkanlah dariku. Aisyah berkata; ‘Kemudian aku menyingkirkannya.’ Setelah itu aku jadikan kain itu menjadi bantal-bantal.
{HR. Muslim}

وعن عائشة قالت : كان لي ثوب ، فيه صورة ، فكنت أبسطه ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلّي إليه ، فقال لي : أخّريه عني ، فجعلت منه وسادتين.
{رواه مسلم. والنسائي. والدارمي}.

Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa, ia berkata : Dulu aku mempunyai pakaian bergambar, lalu aku membentangkannya. Adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pada satu ketika shalat menghadapnya, maka beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda kepadaku : ”Singkirkanlah ia dariku”. Maka kemudian aku jadikan pakaian tersebut dua buah sarung bantal.
[Diriwayatkan oleh Muslim : 3/1668, An-Nasaa’iy : 8/213, dan Ad-Daarimiy : 2/384].


Al Imam An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan hadits di atas dengan perkataannya sebagai berikut :

وأما الثّوب الذي فيه صور أو صليب أوما يلهي ، فتكره الصّلاة فيه وإليه وعليه الحديث

”Adapun pakaian yang terdapat padanya gambar, salib, atau apa saja yang bisa mengganggu kekhusyukan, maka dibenci untuk shalat dengan mengenakan pakaian tersebut atau shalat menghadapnya berdasarkan hadits ini.
[Lihat Kitab Al-Majmuu’ Syarhu Al Muhadzab Karya Imam Nawawi Al Syafi'i : 3/180].

عن عُثْمَان بن طلحة قال : إِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بَعْدَ دُخُوله الكعبة فقَالَ : ( إِنِّي نَسِيتُ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تُخَمِّرَ الْقَرْنَيْنِ فَإِنَّهُ لَيْسَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ يَشْغَلُ الْمُصَلِّيي ).
{رواه أبو داود رقم الحديث : 2030. وصححه الألباني في " صحيح أبي داود}.

Dan dari 'Utsman bin Thalhah dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa sallama telah bersabda :

“Sesungguhnya aku lupa menyuruhmu untuk menutup dua tanduk itu, karena tidak pantas ada sesuatu yang menyibukkan orang shalat dalam rumah Allah ini (Ka’bah).”
(HR. Abu Dawud no 2030. Dan dishahihkan oleh Al Baniy Tokoh Wahhabiy)

B. Keadaan yang dapat mengurangi kekhusyu'an shalat :

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ( لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ ).
{رواه مسلم رقم الحديث : 560}

Dari Sayyidatna 'Aisyah radliyyallaahu 'anha, beliau berkata : Aku mendengar Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa sallama beliau bersabda :

Tidak (sempurna) shalat dihadapan makanan, dan menahan buang air kecil dan buang air besar.
{HR. Muslim no. 560}

قال النووي رحمه الله :
" فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا : الْبَوْل وَالْغَائِط

Imam Al Nawawi Al Syafi'i rahimahullah ta'ala mengatakan :

Dalam hadits ini menunjukkan akan makruhnya shalat yang ada makanan dihadapanya, yang dia dalam keadaan ingin makan, dikarenakan hal ini dapat menyibukkan hati (ingin segera makan), dan menghilangkan kekhusyu'an. Dan termasuk kemakruhannya adalah shalat dengan menahan kencing atau buang air besar.

وروىعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يُصَلِّيَ وَهُوَ حَقِنٌ حَتَّى يَتَخَفَّفَ.
{رواه أبو دلود رقم الحديث : 91. وصححه الألباني في "صحيح أبي داود}

Dan diriwayatkan dari Abi Huroirota radliyyallahu 'anhu, dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallama :

Tidaklah halal bagi seseorang yang Beriman kepada Allah dan hari qiyamat, apabila dia shalat (dalam keadaan) menahan kentut hingga ia melegakannya (melepaskan kentutnya terlebih dahulu).
{HR. Abu Dawud n. 91 dan dishahihkan oleh Al Baniy}

وروى عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَهُوَ حَاقِنٌ ).
{رواه احمد رقم : 21648. وأبو داود رقم 91. وصححه الألباني}

قال السندي رحمه الله :
" قَوْله ( وَهُوَ حَاقِن ) أَيْ حَابِس لِلْبَوْلِ أَوْ الْغَائِط " انتهى .

Imam Al Sindiy Al Hanafiy mengatakan :

Sabda Nabi ( وَهُوَ حَاقِن ) artinya : Orang yang menahan (ngempet : jawa) kencing dan buang air besar.


Keterangan grammer bahasa arabnya (secara ilmu nahwu) :

وهو من " حَقَنَ الشَّيءَ يَحْقُنُه ويَحْقِنُه حَقْناً فهو مَحْقُونٌ وحَقِينٌ : حَبَسه .
وحقَنَ البَوْلَ يَحقُنُه ويَحْقِنُه : حَبَسه " . انتهى
{من"لسان العرب" : (13 /125)}

Haaqinun berasal dari Haqana Al Syaia, Yahqunuhu. Dan Yahqinuhu, haqnan, fahuwa Mahquunun dan Haqiinun artinya Habasahu (menahan). Haqana Al Baula, kata kerjanya waktu sekarang adalah Yahqunuhu dan Yahqinuhu sama dengan Habasahu yang artinya menahan kencing.
{Luhat Kitab Lisan Al 'Arab : 13/ 125}

وقال ابن الأثير رحمه الله في "النهاية" (1 /1017) :
" هو الذي حُبس بولُه ، كالحاقِب للغائط " .
وينظر : إجابة السؤال رقم (8603) ، (20958) .

“Tidak ada shalat ketika makanan sudah dihidangkan atau sambil menahan dua hadas.
(HR. Ahamd, Muslim, dan Abu Dawud)

Maksud dua hadast adalah keinginan buang hajat, baik kencing atau buang air besar. Dan kentut semakna denga dua hal itu. Karena kentut, jika dorongannya sangat kuat, akan sangat mengganggu orang yang shalat sebagaimana buang air besar atau kencing.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ.
{رواه احمد في مسنده رقم : 23112 و 24442. ومسلم رقم : 867. وابن ماجة رقم : 925. والدارمي : 1249}

Telah menceritakan kepadaku Musaddad, dia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Hisyam, dia berkata : Telah menceritakan kepadaku bapakku, dia berkata : Aku mendengar dari 'Aisyah, dari Nabi shalallaahu 'alaihi wa sallama, sesungguhnya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa sallma telah besabda :

“Apabila telah tersedia hidangan makan malam, sedang sudah mau didirikan shalat, maka dahulukanlah makan malam.
{HR. Ahmad no. 23112, 24442. Muslim no. 867. Ibnu Majah no. 925. Dan Darimiy no. 1249}

C. Terlalu memikirkan dunia didalam shalat.

D. Mengingatkan imam dengan membaca tasbih, dan bertepuk bagi pria.

E. Membawa anak kecil tanpa sebab apapun.
{C,D,E bisa dilihat dalam Kitab Fiqhu Al 'Ibadaat Hasan Ayyub hal. 82 cet. IV, Daar Al Nadwah Al Jadidah Beirut-Libnan, th. 1406 H / 1986 M}


04}. MERENGGANGKAN KAKI.
(HR. Nasa'i)

Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu,

أنه رأى رجلا قد صف بين قدميه قال ؛ أخطأ السنة ، لو راوح بينهما كان أعجب إلي

“Ibnu Mas’ud melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Beliau lalu berkata: ‘Itu menyelisihi sunnah, andai ia melakukan al murawahah (menopang dengan salah satu kakinya) itu lebih aku sukai.
(HR. An Nasa-i 969, namun sanadnya dhaif)

Juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jausyan Al Ghathafani (seorang tabi’in),

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزِقْ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ

“dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini.
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 2/109 dengan sanad yang shahih).

Sedangkan al murawahah yaitu menopang berat tubuh pada satu kaki saja, sesekali yang kanan sesekali yang kiri, ini dibolehkan ketika ada kebutuhan, misalnya ketika shalatnya sangat panjang dan lama. Ibnu Qudamah mengatakan: “

(Ketika shalat) dianjurkan untuk merenggangkan kedua kaki, dan boleh murawahah jika memang duduknya terlalu lama. murawahah adalah terkadang bertopang pada salah satu kaki dan terkadang pada kaki yang lain, namun jangan sering-sering melakukan hal itu.
(Lihat Kitab Al Mughni Karya Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hanbaliy : 2/ 7).

Ketika berdiri dalam shalat, yang sesuai sunnah, kedua kaki di renggangkan dengan jarak yang tidak terlalu renggang dan tidak terlalu rapat. Sebagian ulama berpendapat bolehnya berdiri dengan merapatkan dua kaki, karena ada riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma :

عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُصَلِّي صَافًّا قَدَمَيْهِ، وَأَنَا غُلامٌ شَابٌّ

“Dari Sa’ad bin Ibrahim, ia berkata: ‘aku melihat Ibnu Umar shalat dengan merapatkan kedua kakinya ketika aku masih kecil.
(HR. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 3/250 dengan sanad shahih).

Ada yang berpendapat : Namun pendapat ini tidak tepat karena sekedar perbuatan sahabat bukanlah dalil dalam penetapan ibadah, lebih lagi jika diselisihi oleh para sahabat yang lain. Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu,

Akan tetapi menurut hemat saya: walaupun itu hanya dari para sahabat, dan menjadi perselisihan diantara mereka, namun para sahabat adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah dan orang-orang yang paling mengerti akan aqwal (perkataan) dan ahwal (perbuatan) taqrir (ketetapan) Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallama, jikalau terjadi perselisihan diantara mereka bukan karena saling menyalahkan ataupun bermusuhan, akan tetapi cuma karena mereka kadang bersama atau tidak bersama-sama ketika menghadiri majlis Rasulullah, sehingga ketika bersama terjadi perbedaan karena tidak selalu bersama-sama menyerap ilmu di dalam Majlis Rasulillah.

Didukung oleh sabda Nabi : Ikutilah Abu Bakar dan Umar, Utsman, dan Aliy, dengan hal ini secara otomatis Rasulullah memerintahkan kita boleh mengikuti khulafaur rasyidin pada khususnya, dan para sahabat pada umumnya.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ مِثْلَ حَدِيثِ أَبِي مَسْعُودٍ وَقَالَ: «وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ».

حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ عَنْ أَرْطَاةَ بْنِ الْمُنْذِرِ عَنِ الْمُهَاصِرِ بْنِ حَبِيبٍ عن العرباض بن سارية رضي الله عنه قال : وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة ، وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون ، فقلنا : يا رسول الله ، كأنها موعظة مودع فأوصنا، قال : " أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد ، وإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ، عضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة.
{رواه أبو داود والترمذي ، وقال : حديث حسن صحيح}.

Telah menceritakan kepada kami 'isa bin Khalidin. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman. Dari Isma'il bin 'Ayyasyin. Dari Arthoh bin Al Mundziri. Dari Al Muhaashiri bin Habib. Dari al-‘Irbadh bin Sâriah radhiallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan wejangan kepada kami yang membuat hati ciut dan air mata berlinang, maka kami lantas berkata: sepertinya ini wejangan seorang yang berpamitan/meninggalkan (kami selamanya), lantas (aku berkata) wasiatilah kami !, beliau bersabda :

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan bersikap mendengar dan ta’at (loyal) meskipun orang yang memerintah (menjadi Amir/penguasa) adalah seorang budak. Sesungguhnya siapa saja yang nanti hidup setelahku maka dia akan melihat terjadinya perselisihan yang banyak; oleh karena itu, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (al-Mahdiyyin), gigitlah ia(sunnahku tersebut) dengan gigi geraham, dan tinggalkanlah oleh kalian urusan-urusan baru (mengada-ada dalam urusan agama) karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.
(H.R. Abu Dawud dan at-Turmuzi, dia berkata : hadits ini hadits hasan shahih).

Diriwayatkan dari Jubair ibni Muth’im, dia berkata:

أَتَتِ امْرَأَةُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ.

Datang seorang wanita kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar.
{HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat Zhilalul Jannah hal. 541-542, no. 1151}

Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah menceritakan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:

إِني لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُوا اللهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبِي يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ ِلأَنِيْ كَثِيْرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ ? يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَهُمَا، فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ.
{رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر : 4/ 1858، رقم الحديث : 3389}

Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab ketika telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah dan Abu Bakar) karena aku sering mendengar Rasulullah ? bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.
{HR. Bukhariy : 4/ 1858 no. 3889}


05}. MEMAKAI SARUNG ATAU CELANA DENGAN TIDAK MENUTUPI MATA KAKI BAGI LAKI-LAKI.
(HR. Abu Dawud)

عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنِ الْإِزَارِ فَقَال عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهJ إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ.
{رواه أبو داود كتاب اللباس}

Rosululloh Shalallaahu 'alaihi wa sallama bersabda “Pakaian orang Islam sampai separuh betis, dan tidak dosa diantara separuh betis dan di atas kedua mata kaki, apa-apa yang lebih dari kedua mata kaki (berupa pakaian) maka hukumnya wajib masuk neraka, dan barang siapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya”.
{HR. Abu Dawud Fi Kitab Al Libas}

وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ ……الحديث.
{رواه أبو داود كتاب اللباس}

Rosululloh Shalallaahu 'alaihi wa sallama bersabda “Angkatlah pakaianmu sampai separuh betis, jika engkau menolak (malu) maka boleh di turunkan sampai diatas kedua mata kaki, dan takutlah engkau pada menurunkan (ngelembrehkan/memanjangkan) pakaian, karena pakaian di bawah kedua mata kaki termasuk orang yang sombong, dan sesungguhnya Allah tidak senang pada orang yang sombong.
{HOUR. Abu Dawud Fi Kitab Al Libas}

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي مُسْبِلًا إِزَارَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ قَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ.
{رواه أبو داود كتاب اللباس}

Di riwayatkan dari Abi Huroiroh ….Suatu saat ada seorang laki-laki yang sedang sholat yang saat itu dia ngelembrehkan (memanjangkan) pakaiannya , lalu Rosululloh Shalallaahu 'alaihi wa sallama bersabda kepada laki-laki tersebut “pergi dan berwudhu-lah engkau” akhirnya laki-laki itu pergi dan berwudhu, kemudian dia datang kepada Nabi, lalu Nabi bersabda “pergi dan berwudhu-lah engkau”, kemudian ada orang lain yang berkata kepada Nabi setelah melihat kejadian itu “Ya Rosululloh kenapa engkau perintahkan kepada laki-laki itu untuk mengerjakan wudhu tapi setelah itu engkau diam tidak menerangkan kesalahan laki-laki tersebut ?” kemudian Nabi menjawab “sesungguhnya laki-laki itu sholat tapi dia memanjangkan (ngelembrehkan) pakaiannya, dan sesungguhnya Allah tidak akan menerima sholat seorang laki-laki yang memanjangkan (ngelembrehkan) pakaiannya”.
{HR. Abu Dawud}

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ J أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قُلْتُ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ خَابُوا وَخَسِرُوا فَأَعَادَهَا ثَلَاثًا قُلْتُ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ خَابُوا وَخَسِرُوا فَقَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ أَوِ الْفَاجِرِ .
{رواه أبو داود في كتاب اللباس}

Di riwayatkan dari Abi Dhar…. Rosululloh Shalallaahu 'alaihi wa sallama bersabda “Ada tiga orang yang mana Allah tidak akan mengajak bicara dan tidak akan melihat pada mereka pada hari kiamat dan juga Allah tidak akan mensucikan pada mereka dan bahkan mereka mendapatkan siksaan yang pedih, Abi Dar berkata – sungguh rugi mereka dan sungguh-sungguh rugi mereka (Abi Dar mengatakan sampai tiga kali) Nabi menjawab – Orang yang memanjangkan (ngelembrehkan) pakaian, Orang yang mengungkit-ungkit pemberian dan Orang yang menawarkan dagangan dengan sumpah dusta atau lacut”.
{HR. Abu Dawud Fi Kitab Al Libas}


Mufti Agung Al Azhar Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad mengatakan :

أما بالنسبة لتقصير الثياب فـإن الأصل في لبس الثياب الإباحة بشرط أن لا يكون فيها إسراف ولا كبر ؛لحديث عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ.
{رواه أحمد والنسائي وابن ماجه وصححه الحاكم}،

وعلى ذلك تحمل أحاديث النهي عن الإسبال كقوله صلى الله عليه وآله وسلم مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ.
{رواه البخاري}،

وقوله صلى الله عليه وآله وسلم ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قالها ثلاثًا ،

قَالَ أَبُو ذَرٍّ رضي الله عنه : خَابُوا وَخَسِرُوا ، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَـالَ الْمُسْبِلُ ، وَالْمَنَّانُ ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ رواه مسلم ؛ (....) وما لم يكن كذلك فليس حرامًا ؛ لأن الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا . (....) .وينبغي للمسلم المحب للسنة أن يكون مدركًا لشأنه عالمًا بزمانه وأن يحسن تطبيقها بطريقة ترغب الناس وتحببهم فيها فلا يكون فتنة يصدهم عن دينهم ، وأن يفرق فيها بين السنن الجبلية وسنن الهيئـات التي تختلف باختلاف الأعراف والعادات وغيرها من السنن ، وأن يعتني بترتيب الأولويات في ذلك فلا يقدم المندوب على الواجب ولا يكون اعتناؤه بالهَدْي الظاهر على حساب الهَدْي الباطن وحسن المعاملة مع الخلق وأن يأخذ من ذلك بما يفهمه الناس وتسعه عقولهم وعاداتهم حتى لا يكون ذريعة للنيل من السنة والتكذيب بها كما قال سيدنا علي كرم الله وجهه حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ.
{رواه البخاري وغيره}،

وقال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.
{رواه مسلم}.

Masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhumâ dari Nabi Shalallaahu 'alaihi wasallama, beliau bersabda,

“Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong.”
(HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).

Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wasallama :

“Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka.”
(HR. Bukhari).

Nabi Shalallaahu 'alaihi wasallama juga bersabda :

Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih”. Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wasallama mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, “Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab :

“Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”.
(HR Muslim).

Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar radliyyallaahu 'anhuma yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi Shalallaahu 'alaihi wasallama bersabda :

“Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong.”

Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi’i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.

Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadist Ibnu Umar radliyyallaahu 'anhuma bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radliyyallaahu 'anhu berkata : “Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wasallama bersabda :

“Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”

Begitu pula hadist Abi Bakrah radliyyallaahu 'anhu, ia berkata : “Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wasallama. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata,

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali.”

Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan ILLAT hukum itu. Dan larangan ini pun bersifat umum bukan hanya pada saat akan shalat saja.

Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wasallama melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda :

“Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna/model pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat.”
(HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar radliyyallaahu 'anhuma serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).

Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan shalat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.

Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi Shalallaahu 'alaihi wasallama secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini.

Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat.

Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah,

“Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
(HR. Bukhari dan lainnya).

Abdullah bin Mas’ud radliyyallaahu 'anhuma juga pernah berkata,

“Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka.”
(HR. Muslim).


06}. MASALAH MEMEJAMKAN MATA KETIKA AKAN SHALAT | ada beberapa pendapat:

a). Imam Tsauriy berpendpt makruh dengan alasan menyamai orang yahudi.
(Lihat Kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Cet. Darul Fikr)

b). Imam Malik mengatakan tidak apa-apa.

c). Imam Baihaqiy menjelaskan bhw hadits yang digunakan untuk kemakruhan memejamkan adalah dlo'if / lemah (artinya blh memejamkn mata waktu shalat, tapi afdlal atau lebih utama tidak memejamkan mata).

Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan:

وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ

Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad, dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya.
(Lihat Kitab As Sunan Al Kubra, Imam Baihaqiy : 2/284)

d). Imam Nawawi berpendapat, memejamkan mata tidak makruh bila dapat mengantarkan kepada kekusyu'an.

e). Imam Ibnul Qayyim berpendapat apabila membuka mata tidak mengurangi kekusyu'an, maka lebih utama membuka mata. Sedangkan apabila membuka mata mengganggu kekusyu'an karena ada pengganggu didepannya, memejamkan mata lebih utama.

Pandangan kompromis (melihat keadaan dan kebutuhan) yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang pendapat yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut :

وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال: إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم.

Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyu’an, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyu’an maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu’ karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qath’i(meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu A’lam.”
(Lihat Kitab Zaadul Ma’ad, 1/294. Cet. Muasasah Al Risalah)

(LIHAT PERBEDAAN2 PENDAPAT INI DALAM AL-MAJMU': 3/314. FIQHUS SUNNAH: 1/227}

F. Imam Al Hasan Al Bashri membolehkannya. Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin ‘Ubaid,katanya:

سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئ

Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: “Jika engkau mau.
(Lihat Kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah : 2/162)


G. Menurut pandangan pengikut Imam Abu Hanafiah :

1. Imam Abu Bakr Al Kasani Al Hanafi mengatakan dalam Al Bada’i Ash Shana’i:

وَيُكْرَهُ أَنْ يُغْمِضَ عَيْنَيْهِ فِي الصَّلَاةِ ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَغْمِيضِ الْعَيْنِ فِي الصَّلَاةِ ؛ وَلِأَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يَرْمِيَ بِبَصَرِهِ إلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ وَفِي التَّغْمِيضِ تَرْكُ هَذِهِ السُّ

Dimakruhkan memejamkan mata dalam shalat, karena telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang memejamkan mata ketika shalat, dan juga karena disunahkan melemparkan pandangan ke tempat sujud, ketika memejamkan mata sunah ini akan ditinggalkan.
(Lihat Kitab Al Bada’i Ash Shana’i : 2/343. Cet. Mawqi’ Al Islam)

2. Tokoh besar madzhab Hanafi, yakni Imam Abu Ja’far Ath Thahawi juga memakruhkannya.
(Lihat Kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Cet. Darul Fikr)


H. Menurut pandangan Imam Malik dan para pengikut Imam Malik :

1. Menurut Imam Malik

وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافل

Berkata Malik: Tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.
(Lihat Kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Cet. Darul fikr)

2. Imam Muhammad Al Kharasyi Al Malikiy mengatakan dalam Syarh Mukhatshar Al Khalil:

وَكَذَلِكَ يُكْرَهُ تَغْمِيضُ الْبَصَرِ خَوْفَ اعْتِقَادِ وُجُوبِهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ فَتْحُهُ يُشَوِّشُهُ

Demikian juga dimakruhkan memejamkan pandangan, khawatir hal itu diyakini sebagai kewajiban, kecuali jika membuka mata membuatnya was-was.”
(Lihat Kitab Syarh Mukhtashar Al Khalil : 3/453. Cet. Mawqi’ Al Islam)

3. Imam Ahmad bin Muhammad Ash Shawi Al Malikiy mengatakan dalam Hasyiah ‘ala Asy Syarh Ash Shaghir:

كُرِهَ ( تَغْمِيضُ عَيْنَيْهِ ) إلَّا لِخَوْفِ وُقُوعِ بَصَرِهِ عَلَى مَا يَشْغَلُهُ عَنْ صَلَاتِهِ .

Dimakruhkan memejamkan mata, kecuali dikhawatiri jika terjadi pada pandangannya apa-apa yang membuatnya shalatnya terganggu.
(Lihat Hasyiah ‘ala Asy Syarh Ash Shaghir : 6/42. Cet. Mawqi’ Al Islam)

4. Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Malikiy dalam Manhal Jalil mengatakan:

كُرِهَ ( تَغْمِيضُ بَصَرِهِ ) أَيْ عَيْنِ الْمُصَلِّي خَوْفَ اعْتِقَادِ فَرْضِيَّتَهُ إلَّا لِخَوْفِ نَظَرٍ لِمُحَرَّمأَوْ مَا يَشْغَلُهُ عَنْهَا

Dimakruhkan memejamkan pendangan yaitu mata orang yang shalat, dikhawatiri dia meyakininya sebagai kewajiban, kecuali jika dikhawatiri dia memandang sesuatu yang dharamkan atau apa-apa yang membuatnya terganggu.”
(Lihat Kitab Manhal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil : 2/95. Cet. Mawqi’ Al Islam)

I. Pandangan Asy Syafi’iyyah.

Madzhab ini ada yang membolehkan seperti Imam An Nawawi, yang mengatakan dalam Raudhatuth Thalibin :

والمختار أنه لا يكره إن لم يخف ضررا وينبغي أن يدخل فيها بنشاط وفراغ قلبه من الشواغل والله أعلم.

Pendapat yang dipilih adalah, tidak makruh memejamkan mata jika dia tidak khawatir adanya dharar (hal yang merusak) dan hal itu diharapkan bisa menyemangatinya dan hatinya bersih dari hal-hal yang membuatnya terganggu.”
(Lihat Kitab Raudhatuth Thalibin : 1/99. Cet. Mawqi’ Al Islam). Ini juga dikatakan oleh Imam Zainuddin Al Malibari Al Hindi. (Lihat Kitab Fathul Mu’in, 1/214. Cet. Mawqi’ Ya’sub) karena hal itu tidak ada hadits yang melarangnya. (lihat Kitab Imam Zakaria Anshari, Hasyiah Al Jumal : 3/474. Cet. Mawqi’ Al Islam)


Ada pula yang memakruhkan seperti Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi, dalam I’anatuth Thalibin:

وأنه يكره تغميض عينيه وعللوه بأن اليهود تفعله، وأنه لم ينقل فعله عن النبي(ص) ولا عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم أجمعين.

Dan, bahwasanya dimakruhkan memejamkan mata, mereka beralasan bahwa Yahudi melakukan hal itu, dan belum pernah dinukil perbuatan tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum ajma’in.
(Lihat Kitab I’anatuth Thalibin, Syarhu Fathu Al Mu'in : 1/193)

Al ‘Abdari juga memakruhkan.
(Lihat Kitab Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab : , 3/314. kitab Mughni Muhtaj : 2/425)


J. Pandangan Imam Ahmad Dan para pengikutnya :

1. Imam Ahmad memakruhkan sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim.
(Lihat Kitab Zaadul Ma’ad, 1/294. Cet. Muasasah Ar Risalah)

Kesimpulan

Memejamkan mata dalam shalat tidak haram, dan bukan termasuk hal yang bisa membatalkan shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil -dan dalil adalah hal yang sangat penting- ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabi’in bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan.


K. Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam :

وَأَفْتَى ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ بِأَنَّهُ إذَا كَانَ عَدَمُ ذَلِكَ يُشَوِّشُ عَلَيْهِ خُشُوعَهُ أَوْ حُضُورَ قَلْبِهِ مَعَ رَبِّهِ فَالتَّغْمِيضُ أَوْلَى مِنْ الْفَتْحِ

Ibnu Abdissalam berfatwa : Bahwa jika memejamkan mata bisa menghilangkan gangguan atas kekhusyu’annya atau mampu menghadirkan hati kepada Rabbnya, maka memejamkan lebih utama dibanding membukanya.”
(Imam Al Khathib Asy Syarbini, Lihat kitab Mughni Muhtaj, 2/425. Cet. Mawqi’ Al Islam)

Jadi esensinya adalah kekhusyu’an dan hadirnya hati ketika shalat. Memejamkan mata bisa makruh jika tanpa ada keperluan tersebut. Tetapi jika hal itu dibutuhkan, demi menghilangkan gangguan pandangan, dan menjaga suasana kekhusyu’an dihati maka itu boleh, bahkan afdhal (lebih utama). Oleh karena itu, masalah ini tidak sama pada setiap orang, dan sifatnya sangat personally atau pribadi.


7. BERDOA SEBELUM TAKBIRATUL IHRAM.
(HR. Baihaqiy)

Do'a masuk shof sebelum takbiratul ihram, caranya adalah setelah shof diluruskan dan dirapatkan, imam kemudian memimpin ma'mumnya berdo'a "do'a setelah masuk shof" dg serentak. Sedangkan do'a masuk shof yg ma'tsur ato lngsng dr Rasulullah adalah:

أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمْزَةَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ ، عَنْ سُهَيْلٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ عَائِذٍ ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ ، عَنْ سَعْدٍ ، أَنَّ رَجُلا جَاءَ إِلَى الصَّلاةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لَنَا ، فَقَالَ حِينَ انْتَهَى إِلَى الصَّفِّ : اللَّهُمَّ آتِنِي أَفْضَلَ مَا تُؤْتِي عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاتَهُ ، قَالَ : " مَنِ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا ؟ " قَالَ الرَّجُلُ : أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : " إِذًا يُعْقَرُ جَوَادُكَ وَتُسْتَشْهَدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ " .
{رواه البخاري في الأدب المفرد. والنسائي في السنن الكبرى واللفظ له رقم الحديث : 9525, وفي عمل اليوم والليلة رقم : 93. وابن السني في عمل اليوم والليلة رقم : 106. وابن حزيمة في صحيحه رقم : 453. والحاكم في المستدرك : 1/ 207، وقال : هذا حديث صحيح على شرط مسلم وأقرّه الذهبي}

ALLAHUMMA AATINIY AFDLALA MAA TU'TIY 'IBAADAKASH SHAALIHIINA
Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Nashrin, dia berkata :
Telah mengabarkan kepadaku Ibrahim bin Hamzah, dia berkata :
Telah mengabarkan kepadaku Abdul Aziz, dari Suhail, dari Muhammad bin Muslimin bin 'Aidzin, dari 'Aamir bin Sa'din, dari Sa'din : Sesungguhnya seorang datang akan ikut shalat berjama'ah, pada waktu itu Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wasallama sedang shalat bersamaku. Ketika sampai dishof shalat, orang tadi berdoa :

Ya Allah berilah aku seutama-utama apa yg Engkau berikan kepada hamba-hamba-MU yg shalih-shalih.

Ketika shalat selesai Rasulullaah bertanya : Siapa yang membaca doa barusan? Orang itu menjawab : Aku Ya Rasulallaah... Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wasallama bersabda : Ketika itu ditinggikan kedermawananmu, dan kamu disyahidkan dalam perang sabilillah.
[HR. Bukhari dalam Kitab Tarikhnya Al Adabu Al Mufrada. Imam Nasa'i Dalam Amalu Al Yaum Wa Al Lailah no. 93. Al Baihaqiy. Imam Ibnu Sunniy dlm Kitab 'Amalul yaum wal lailah no. 106. Ibnu Huzaimah no. 453. Hakim, dan beliau mengatakan Hadits Shahih atas Syarat Muslim dan disepakati oleh Imam Dzahabiy. Keterangan ini dpt jg dilihat di kitab Al-Adzkaar Li Imam Nawawiy]


20 Desember 2013 | Jum'at pon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PALING DIMINATI

Kategori

SHALAT (8) HADITS (5) WANITA (5) ADAB DAN HADITS (3) FIQIH HADIST (3) WASHIYYAT DAN FAWAID (3) 5 PERKARA SEBELUM 5 PERKARA (2) AQIDAH DAN HADITS (2) CINTA (2) PERAWATAN JENAZAH BAG VII (2) SIRAH DAN HADITS (2) TAUSHIYYAH DAN FAIDAH (2) TAWAJUHAT NURUL HARAMAIN (2) (BERBHAKTI (1) 11 BAYI YANG BISA BICARA (1) 12 BINATANG YANG MASUK SURGA (1) 25 NAMA ARAB (1) 7 KILOGRAM UNTUK RAME RAME (1) ADAB DAN AKHLAQ BAGI GURU DAN MURID (1) ADAB DAN HADITS (SURGA DIBAWAH TELAPAK KAKI BAPAK DAN IBU) (1) ADAT JAWA SISA ORANG ISLAM ADALAH OBAT (1) AIR KENCING DAN MUNTAHAN ANAK KECIL ANTARA NAJIS DAN TIDAKNYA ANTARA CUKUP DIPERCIKKI AIR ATAU DICUCI (1) AJARAN SUFI SUNNI (1) AKIBAT SU'UDZON PADA GURU (1) AL QUR'AN (1) AMALAN KHUSUS JUMAT TERAKHIR BULAN ROJAB DAN HUKUM BERBICARA DZIKIR SAAT KHUTBAH (1) AMALAN NISFHU SYA'BAN HISTORY (1) AMALAN SUNNAH DAN FADHILAH AMAL DIBULAN MUHARRAM (1) AMALAN TANPA BIAYA DAN VISA SETARA HAJI DAN UMRAH (1) APAKAH HALAL DAN SAH HEWAN YANG DISEMBELIH ULANG? (1) AQIDAH (1) ASAL MULA KAUM KHAWARIJ (MUNAFIQ) DAN CIRI CIRINYA (1) ASAL USUL KALAM YANG DISANGKA HADITS NABI (1) AYAT PAMUNGKAS (1) BELAJAR DAKWAH YANG BIJAK MELALUI BINATANG (1) BERITA HOAX SEJARAH DAN AKIBATNYA (1) BERSENGGAMA ITU SEHAT (1) BERSIKAP LEMAH LEMBUT KEPADA SIAPA SAJA KETIKA BERDAKWAH (1) BIRRUL WALIDAIN PAHALA DAN MANFAATNYA (1) BOLEH SHALAT SUNNAH SETELAH WITIR (1) BOLEHNYA MENDEKTE IMAM DAN MEMBAWA MUSHAF DALAM SHALAT (1) BOLEHNYA MENGGABUNG DUA SURAT SEKALIGUS (1) BOLEHNYA PATUNGAN DAN MEWAKILKAN PENYEMBELIHAN KEPADA KAFIR DZIMMI ATAU KAFIR KITABI (1) BULAN ROJAB DAN KEUTAMAANNYA (1) DAGING KURBAN AQIQAH UNTUK KAFIR NON MUSLIM (1) DAN FAKHR (1) DAN YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA) (1) DARIMANA SEHARUSNYA UPAH JAGAL DAN BOLEHKAH MENJUAL DAGING KURBAN (1) DASAR PERAYAAN MAULID NABI (1) DEFINISI TINGKATAN DAN PERAWATAN SYUHADA' (1) DO'A MUSTAJAB (1) DO'A TIDAK MUSTAJAB (1) DOA ASMAUL HUSNA PAHALA DAN FAIDAHNYA (1) DOA DIDALAM SHALAT DAN SHALAT DENGAN SELAIN BAHASA ARAB (1) DOA ORANG MUSLIM DAN KAFIR YANG DIDZALIMI MUSTAJAB (1) DOA SHALAT DLUHA MA'TSUR (1) DONGO JOWO MUSTAJAB (1) DURHAKA (1) FADHILAH RAMADHAN DAN DOA LAILATUL QADAR (1) FAIDAH MINUM SUSU DIAWWAL TAHUN BARU HIJRIYYAH (1) FENOMENA QURBAN/AQIQAH SUSULAN BAGI ORANG LAIN DAN ORANG MATI (1) FIKIH SHALAT DENGAN PENGHALANG (1) FIQIH MADZAHIB (1) FIQIH MADZAHIB HUKUM MEMAKAN SERANGGA (1) FIQIH MADZAHIB HUKUM MEMAKAN TERNAK YANG DIBERI MAKAN NAJIS (1) FIQIH QURBAN SUNNI (1) FUNGSI ZAKAT FITRAH DAN CARA IJAB QABULNYA (1) GAYA BERDZIKIRNYA KAUM CERDAS KAUM SUPER ELIT PAPAN ATAS (1) HADITS DAN ATSAR BANYAK BICARA (1) HADITS DLO'IF LEBIH UTAMA DIBANDINGKAN DENGAN PENDAPAT ULAMA DAN QIYAS (1) HALAL BI HALAL (1) HUKUM BERBUKA PUASA SUNNAH KETIKA MENGHADIRI UNDANGAN MAKAN (1) HUKUM BERKURBAN DENGAN HEWAN YANG CACAT (1) HUKUM BERSENGGAMA DIMALAM HARI RAYA (1) HUKUM DAN HIKMAH MENGACUNGKAN JARI TELUNJUK KETIKA TASYAHUD (1) HUKUM FAQIR MISKIN BERSEDEKAH (1) HUKUM MEMASAK DAN MENELAN IKAN HIDUP HIDUP (1) HUKUM MEMELIHARA MENJUALBELIKAN DAN MEMBUNUH ANJING (1) HUKUM MEMUKUL DAN MEMBAYAR ONGKOS UNTUK PENDIDIKAN ANAK (1) HUKUM MENCIUM MENGHIAS DAN MENGHARUMKAN MUSHAF AL QUR'AN (1) HUKUM MENGGABUNG NIAT QODLO' ROMADLAN DENGAN NIAT PUASA SUNNAH (1) HUKUM MENINGGALKAN PUASA RAMADLAN MENURUT 4 MADZHAB (1) HUKUM MENYINGKAT SHALAWAT (1) HUKUM PUASA SYA'BAN (NISHFU SYA'BAN (1) HUKUM PUASA SYAWWAL DAN HAL HAL YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA (1) HUKUM PUASA TARWIYYAH DAN 'ARAFAH BESERTA KEUTAMAAN - KEUTAMAANNYA (1) HUKUM SHALAT IED DIMASJID DAN DIMUSHALLA (1) HUKUM SHALAT JUM'AT BERTEPATAN DENGAN SHALAT IED (1) IBADAH JIMA' (BERSETUBUH) DAN MANFAAT MANFATNYA (1) IBADAH TERTINGGI PARA PERINDU ALLAH (1) IBRANI (1) IMAM YANG CERDAS YANG FAHAM MEMAHAMI POSISINYA (1) INDONESIA (1) INGAT SETELAH SALAM MENINGGALKAN 1 ATAU 2 RAKAAT APA YANG HARUS DILAKUKAN? (1) ISLAM (1) JANGAN GAMPANG MELAKNAT (1) JUMAT DIGANDAKAN 70 KALI BERKAH (1) KAIFA TUSHLLI (XX) - (1) KAIFA TUSHOLLI (III) - MENEPUK MENARIK MENGGESER DALAM SHALAT SETELAH TAKBIRATUL IHRAM (1) KAIFA TUSHOLLI (XV) - SOLUSI KETIKA LUPA DALAM SHALAT JAMAAH FARDU JUM'AH SENDIRIAN MASBUQ KETINGGALAN (1) KAIFA TUSHOLLI (I) - SAHKAH TAKBIRATUL IHROM DENGAN JEDA ANTARA KIMAH ALLAH DAN AKBAR (1) KAIFA TUSHOLLI (II) - MENEMUKAN SATU RAKAAT ATAU KURANG TERHITUNG MENEMUKAN SHALAT ADA' DAN SHALAT JUM'AT (1) KAIFA TUSHOLLI (IV) - SOLUSI KETIKA LUPA MELAKUKAN SUNNAH AB'ADH DAN SAHWI BAGI IMAM MA'MUM MUNFARID DAN MA'MUM MASBUQ (1) KAIFA TUSHOLLI (IX) - BASMALAH TERMASUK FATIHAH SHALAT TIDAK SAH TANPA MEMBACANYA (1) KAIFA TUSHOLLI (V) - (1) KAIFA TUSHOLLI (VI) - TAKBIR DALAM SHALAT (1) KAIFA TUSHOLLI (VII) - MENARUH TANGAN BERSEDEKAP MELEPASKANNYA ATAU BERKACAK PINGGANG SETELAH TAKBIR (1) KAIFA TUSHOLLI (VIII) - BACAAN FATIHAH DALAM SHOLAT (1) KAIFA TUSHOLLI (XI) - LOGAT BACAAN AMIN SELESAI FATIHAH (1) KAIFA TUSHOLLI (XII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XIV) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XIX) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XVI) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XVII) - BACAAN TASBIH BAGI IMAM MA'MUM DAN MUNFARID KETIKA RUKU' (1) KAIFA TUSHOLLI (XVIII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XX1V) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXI) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXIII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXIX) - BACAAN SALAM SETELAH TASYAHUD MENURUT PENDAPAT ULAMA' MADZHAB MENGUSAP DAHI ATAU WAJAH DAN BERSALAM SALAMAN SETELAH SHALAT DIANTARA PRO DAN KONTRA (1) KAIFA TUSHOLLI (XXV) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXVI) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXVII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXVIII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXX) - (1) KAIFA TUSHOLLI (XXXI) - DZIKIR JAHRI (KERAS) MENURUT ULAMA' MADZHAB (1) KAIFA TUSHOLLI (XXXII) - (1) KAIFA TUSHOLLI (x) - (1) KEBERSIHAN DERAJAT TINGGI DALAM SHALAT (1) KEMATIAN ULAMA' DAN AKIBATNYA (1) KEPADA ORANGTUA (1) KESUNNAHAN TAHNIK/NYETAKKI ANAK KECIL (1) KEUTAMAAN ILMU DAN ADAB (1) KEWAJIBAN SABAR DAN SYUKUR BERSAMAAN (1) KHUTBAH JUM'AT DAN YANG BERHUBUNGAN (1) KIFARAT SUAMI YANG MENYERUBUHI ISTRI DISIANG BULAN RAMADHAN (1) KISAH INSPIRATIF AHLU BAIT (SAYYIDINA IBNU ABBAS) DAN ULAMA' BESAR (SAYYIDINA ZAID BIN TSABIT) (1) KISAH PEMABUK PINTAR YANG MEMBUAT SYAIKH ABDUL QADIR AL JAILANIY MENANGIS (1) KRETERIA UCAPAN SUNNAH MENJAWAB KIRIMAN SALAM (1) KULLUHU MIN SYA'BAN (1) KURBAN DAN AQIQAH UNTUK MAYYIT (1) LARANGAN MENYINGKAT SHALAWAT NABI (1) LEBIH UTAMA MANA GURU DAN ORANGTUA (1) MA'MUM BOLEH MEMBENARKAN BACAAN IMAM DAN WAJIB MEMBENARKAN BACAAN FATIHAHNYA (1) MA'MUM MEMBACA FATIHAH APA HUKUMNYA DAN KAPAN WAKTUNYA? (1) MACAM DIALEK AAMIIN SETELAH FATIHAH (1) MACAM MACAM NIAT ZAKAT FITRAH (1) MAKAN MINUM MEMBUNUH BINATANG BERBISA MEMAKAI PAKAIAN BERGAMBAR DAN MENJAWAB PANGGILAN ORANGTUA DALAM SHALAT (1) MALAIKAT SETAN JIN DAPAT DILIHAT SETELAH MENJELMA SELAIN ASLINYA (1) MELAFADZKAN NIAT NAWAITU ASHUMU NAWAITU USHALLI (1) MELEPAS TALI POCONG DAN MENEMPELKAN PIPI KANAN MAYYIT KETANAH (1) MEMBAYAR FIDYAH BAGI ORANG ORANG YANG TIDAK MAMPU BERPUASA (1) MEMPERBANYAK DZIKIR SAMPAI DIKATAKAN GILA/PAMER (1) MENDIRIKAN SHALAT JUM'AT DALAM SATU DESA KARENA KAWATIR TERSULUT FITNAH DAN PERMUSUHAN (1) MENGAMBIL UPAH DALAM IBADAH (1) MENGHADIAHKAN MITSIL PAHALA AMAL SHALIH KEPADA NABI ﷺ (1) MENGIRIM MITSIL PAHALA KEPADA YANG MASIH HIDUP (1) MERAWAT JENAZAH MENURUT QUR'AN HADITS MADZAHIB DAN ADAT JAWS (1) MUHASABATUN NAFSI INTEROPEKSI DIRI (1) MUTIARA HIKMAH DAN FAIDAH (1) Manfaat Ucapan Al Hamdulillah (1) NABI DAN RASUL (1) NIAT PUASA SEKALI UNTUK SEBULAN (1) NISHFU AKHIR SYA'BAN (1) ORANG GILA HUKUMNYA MASUK SURGA (1) ORANG SHALIHPUN IKUT TERKENA KESULITAN HUJAN DAN GEMPA BUMI (1) PAHALA KHOTMIL QUR'AN (1) PENIS DAN PAYUDARA BERGERAK GERAK KETIKA SHALAT (1) PENYELEWENGAN AL QUR'AN (1) PERAWATAN JENAZAH BAG I & II & III (1) PERAWATAN JENAZAH BAG IV (1) PERAWATAN JENAZAH BAG V (1) PERAWATAN JENAZAH BAG VI (1) PREDIKSI LAILATUL QADAR (1) PUASA SUNNAH 6 HARI BULAN SYAWAL DISELAIN BULAN SYAWWAL (1) PUASA SYAWWAL DAN PUASA QADLO' (1) QISHOH ISLAMI (1) RAHASIA BAPAK PARA NABI DAN PILIHAN PARA NABI DALAM TASYAHUD SHALAT (1) RAHASIA HURUF DHOD PADA LAMBANG NU (1) RESEP MENJADI WALI (1) SAHABAT QULHU RADLIYYALLAHU 'ANHUM (1) SANAD SILSILAH ASWAJA (1) SANG GURU ASLI (1) SEDEKAH SHALAT (1) SEDEKAH TAK SENGAJA (1) SEJARAH TAHNI'AH (UCAPAN SELAMAT) IED (1) SERBA SERBI PENGGUNAAN INVENTARIS MASJID (1) SETIAP ABAD PEMBAHARU ISLAM MUNCUL (1) SHADAQAH SHALAT (1) SHALAT DAN FAIDAHNYA (1) SHALAT IED DIRUMAH KARENA SAKIT ATAU WABAH (1) SHALAT JUM'AT DISELAIN MASJID (1) SILSILAH SYAIKH JUMADIL KUBRA TURGO JOGJA (1) SIRAH BABI DAN ANJING (1) SIRAH DAN FAIDAH (1) SIRAH DZIKIR BA'DA MAKTUBAH (1) SIRAH NABAWIYYAH (1) SIRAH NIKAH MUT'AH DAN NIKAH MISYWAR (1) SIRAH PERPINDAHAN QIBLAT (1) SIRAH THAHARAH (1) SIRAH TOPI TAHUN BARU MASEHI (1) SUHBAH HAQIQAH (1) SUM'AH (1) SUNNAH MENCERITAKAN NIKMAT YANG DIDAPAT KEPADA YANG DIPERCAYA TANPA UNSUR RIYA' (1) SURGA IMBALAN YANG SAMA BAGI PENGEMBAN ILMU PENOLONG ILMU DAN PENYEBAR ILMU HALAL (1) SUSUNAN MURAQIY/BILAL SHALAT TARAWIH WITIR DAN DOA KAMILIN (1) SYAIR/DO'A BAGI GURU MUROBBI (1) SYAIR/DO'A SETELAH BERKUMPUL DALAM KEBAIKKAN (1) SYARI'AT DARI BID'AH (1) TA'JIL UNIK LANGSUNG BERSETUBUH TANPA MAKAN MINUM DAHULU (1) TAAT PADA IMAM ATAU PEMERINTAH (1) TAKBIR IED MENURUT RASULULLAH DAN ULAMA' SUNNI (1) TALI ALLAH BERSATU DAN TAAT (1) TATACARA SHALAT ORANG BUTA ATAU BISU DAN HUKUM BERMAKMUM KEPADA KEDUANYA (1) TEMPAT SHALAT IED YANG PALING UTAMA AKIBAT PANDEMI (WABAH) CORONA (1) TIDAK BOLEH KURBAN DENGAN KUDA NAMUN HALAL DIMAKAN (1) TREND SHALAT MEMAKAI SARUNG TANGAN DAN KAOS KAKI DAN HUKUMNYA (1) T̳I̳P̳ ̳C̳E̳P̳E̳T̳ ̳J̳A̳D̳I̳ ̳W̳A̳L̳I̳ ̳A̳L̳L̳O̳H̳ (1) UCAPAN HARI RAYA MENURUT SUNNAH (1) UCAPAN NATAL ANTARA YANG PRO DAN KONTRA (1) ULANG TAHUN RASULILLAH (1) URUTAN SILSILAH KETURUNAN ORANG JAWA (1) Ulama' Syafi'iyyah Menurut Lintas Abadnya (1) WAJIB BERMADZHAB UNTUK MENGETAHUI MATHLA' TEMPAT MUNCULNYA HILAL (1) YAUMU SYAK) (1) ZAKAT DIBERIKAN SEBAGAI SEMACAM MODAL USAHA (1) ZAKAT FITRAH 2 (1) ZAKAT FITRAH BISA UNTUK SEMUA KEBAIKKAN DENGAN BERBAGAI ALASAN (1)
Back To Top