┏─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫━━━━━━━━━━━━━┓
᪇ 💫﷽💫᪇ SETELAH SALAM IMAM MENGHADAP JAMAAH KEKANAN ATAU KEKIRI MIHRAB BERSALAMAN DENGAN JAMA'AH DAN MEMIMPIN DZIKIR ATAU BERTAUSHIYYAH
┗━━━━━━━━━━━━━💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ┛
(Diinti sarikan dari kitab Ahaditsu Ash Shalat dan Kaifa Tushalli karya Murobbi Ruhina KH. Muhammad Ihya' 'Ulumiddin Alumnus pertama Prof. DR. Al Muhadits Abuya As Sayyid Muhammad 'Alawiy Al Malikiy Al Hasaniy Rushaifah - Makkah)
❁🌦️༄1]-IMAM MENGHADAP JAMA'AH YANG MAYORITAS LAKI LAKI BOLEH KESISI KANAN ATAU KIRI MIHRAB (PENGIMAMAN)
NAMUN YANG RUTIN DILAKUKAN beliau berada disisi kanan mihrab
*꧁࿐BERDASARKAN RIWAYAT HADITS:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ :
كَانَ النَّبِيُّ -ﷺ- إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
[رواه البخاري/ كتاب الأذان / باب يستقبل الإمام الناس إذا سلم / حديث رقم: ٨٤٥].
Telah menceritakan kepada kami : Musa bin Isma'il, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami : Jarir bin Hazim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami : Abu Raja'. Dari Samrah bin Jundub radliyyAllahu 'anhu beliau berkata :
“Biasanya Nabi -ﷺ- ketika setelah selesai salat, BELIAU MENGHADAPKAN WAJAHNYA KEPADA KAMI.”
[HR. Bukhari NO. 845].
*꧁࿐DALAM RIWAYAT YANG LAIN:
و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ ابْنِ الْبَرَاءِ عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ :
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ ...الحديث.
[رواه مسلم واللفظ له / ٦ - كتاب صلاة المسافرين وقصرها / ٨ - باب استحباب يمين الإمام / رقم الحديث: ٧٠٩. وابو داود].
Dan telah menceritakan kepada kami : Abu Kuraib. Telah mengabarkan kepada kami : Ibnu Abu Zaidah. Dari Mis'ar. Dari Tsabit bin 'Ubaid. Dari Ibnu Al Barra`. Dari Al Barra` radliyyAllahu 'anhu katanya;
Kami apabila shalat dibelakang Nabi -ﷺ-, kami lebih memilih di sebelah kanannya, karena Beliau (setelah shalat) menghadap kami dengan wajahnya...Al Hadits.
[HR. Muslim No. 709 Teks Miliknya. Dan Abu Dawud]
وقال الحافظ أحمد بن علي بن حجر العسقلاني الشافعي (٧٧٣ - ٨٥٢ هـ) في كتابه فتح الباري شرح صحيح البخاري / ١٠ - كتاب الأذان / ١٥٧ - باب مكث الإمام في مصلاه بعد السلام (ج ٢ ص ٣٣٤):
وَسِيَاقُ سَمُرَةَ ظَاهِرُهُ أَنَّهُ كَانَ يُوَاظِبُ عَلَى ذَلِكَ .
قِيلَ الْحِكْمَةُ فِي اسْتِقْبَالِ الْمَأْمُومِينَ أَنْ يُعَلِّمَهُمْ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَصُّ بِمَنْ كَانَ فِي مِثْلِ حَالِهِ -ﷺ- مِنْ قَصْدِ التَّعْلِيمِ وَالْمَوْعِظَةِ.
وَقِيلَ الْحِكْمَةُ فِيهِ تَعْرِيفُ الدَّاخِلِ بِأَنَّ الصَّلَاةَ انْقَضَتْ ، إِذْ لَوِ اسْتَمَرَّ الْإِمَامُ عَلَى حَالِهِ لَأَوْهَمَ أَنَّهُ فِي التَّشَهُّدِ مَثَلًا . وَقَالَ الزَّيْنُ بْنُ الْمُنِيرِ : اسْتِدْبَارُ الْإِمَامِ الْمَأْمُومِينَ إِنَّمَا هُوَ لِحَقِّ الْإِمَامَةِ ، فَإِذَا انْقَضَتِ الصَّلَاةُ زَالَ السَّبَبُ ، فَاسْتِقْبَالُهُمْ حِينَئِذٍ يَرْفَعُ الْخُيَلَاءَ وَالتَّرَفُّعَ عَلَى الْمَأْمُومِينَ ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ .
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ╸Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalaniy Al-Misriy Al-Syafi'iy (773 - 852 H) mengatakan dalam Kitabnya Fathu Al-Bariy Syarhu Shahih Al-Bukhariy / 10 - Kitab Adzan / 157 - Bab Tentang Imam Yang Tinggal Di Tempat Shalatnya Setelah Salam (Vol. 2, Hal. 334):
Konteks sahabat Samuroh radliyyAllahu 'anhu sepertinya BELIAU -ﷺ- BIASA MELAKUKAN ITU SECARA RUTIN.
Dikatakan bahwa hikmah menghadap kearah para ma'mum setelah selesai shalat adalah dengan mengajarkan kepada mereka apa yang mereka perlukan, maka hal ini berlaku bagi mereka yang posisinya berada dalam keadaan serupa dengan Nabi -ﷺ- Untuk tujuan mengajar dan berkhotbah.
“(Diantara) hikmah yang lainnya adalah memberi tanda kepada orang yang baru masuk (ke masjid) bahwa shalat telah selesai, KARENA JIKA IMAM TETAP DUDUK MENGHADAP KIBLAT NISCAYA ORANG AKAN MENYANGKA BAHWA IA MASIH TASYAHUD.”
❁🌦️༄2]-IMAM MENGHADAP JAMA'AH BERSALAMAN DENGAN PARA MA'MUM SEBELUM MEMULAI DZIKIR KHUTBAH ATAU TAUSHIYYAH
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫i)- MENURUT MADZHAB ASY SYAFI'IY
وقال الإمام أبو زكريا محيي الدين بن شرف النووي الشافعي (ت ٦٧٦ هـ) في كتابه المجموع شرح المهذب / كتاب الصلاة / مسائل تتعلق بالاشارة بالمسبحة (ج ٣ ص ٤٨٨):
قَدْ أَشَارَ إلَيْهِ صَاحِبُ الحاوى فقال : ان كانت صلاة لا يَتَنَفَّلَ بَعْدَهَا كَالصُّبْحِ وَالْعَصْرِ اسْتَدْبَرَ الْقِبْلَةَ وَاسْتَقْبَلَ النَّاسَ وَدَعَا وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يُتَنَفَّلُ بَعْدَهَا كَالظُّهْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فَيُخْتَارُ أَنْ يَتَنَفَّلَ فِي مَنْزِلِهِ وَهَذَا الَّذِي أَشَارَ إلَيْهِ مِنْ التَّخْصِيصِ لَا أَصْلَ لَهُ بَلْ الصَّوَابُ اسْتِحْبَابُهُ فِي كُلِّ الصَّلَوَاتِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى النَّاسِ فَيَدْعُوَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ....(الى ان قال )...
هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ،
وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ╸Imam Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf Al-Nawawiy Al-Syafi'iy (w. 676 H) mengatakan dalam Kitabnya Al-Majmu' Syarhu Al-Muhadzdzab / Kitab Shalat / Masalah Terkait Menunjuk Dengan Jari Telunjuk (Vol. 3, Hal.488):
Pengarang Kitab Al-Hawi (Imam Al Mawardiy) merujuk pada hal ini dan berkata : “Jika shalat yang setelahnya tidak ada shalat sunnahnya, seperti shalat subuh dan ashar, maka dia harus membelakangi kiblat, dan menghadap kepada orang-orang dan berdoa, dan jika shalatnya terdapat shalat Sunnah setelahnya, seperti setelah shalat Dzuhur, Maghrib, dan Isya', maka ia diperintahkan memilih shalat Sunnah di rumahnya, dan kekhususan yang ia maksudkan itu tidak ada dasarnya. Sebaliknya yang benar adalah yang dianjurkan pada setiap shalat dan dianjurkan menghadap kepada jamaah dan berdoa. Wallahu a'lam... (sampai beliau berkata)...
ADA PUN BERSALAMAN INI, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu TERMASUK BID’AH YANG BOLEH YANG TIDAK DISIFATKAN SEBAGAI PERBUATAN YANG DIBENCI DAN TIDAK PULA DIANJURKAN, DAN INI MERUPAKAN PERKATAANNYA YANG BAGUS. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka ITU BOLEH sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka ITU SUNAH, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits shahih tentang itu.”
وقال الإمام أبو الحسن علي بن محمد بن محمد بن حبيب البصري البغدادي، الشهير بالماوردي الشافعي (ت ٤٥٠هـ) في كتابهالحاوي الكبير في فقه مذهب الإمام الشافعي وهو شرح مختصر المزني / باب صفة الصلاة وما يجزئ منها وما يفسدها وعدد سجود القرآن / مسألة (ج ٢ ص ١٤٨):
إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ من صلاته فإذا كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ، وَلِأَنْ لَا يَسْهُوَ فَيُصَلِّي، وَإِنْ كَانَ مَعَهُ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ ثَبَتَ قَلِيلًا لِيَنْصَرِفَ النساء، فإن انصرفن وثبت لِئَلَّا يَخْتَلِطَ الرِّجَالُ بِالنِّسَاءِ
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ╸Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Basriy Al-Baghdadiy yang terkenal dengan Al-Mawardiy Al-Syafi'iy (w. 450 H) mengatakan dalam Kitabnya Al-Hawiy Al-Kabir Fi Fiqhi Madzhabi Al Imam Asy Syafi'iy Syarhu Mukhtashar Al-Muzaniy / Bab Tentang Uraian Shalat, Apa Saja Yang Mencukupi Dan Apa Yang Membatalkannya Serta Jumlah Sujud Al-Qur'an / Masalah (Vol. 2 Hal.148):
“Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat, dan supaya dia tidak lupa, kemudian dia shalat, dan jika ada laki-laki dan perempuan yang bersamanya, beliau diam sebentar agar para wanita keluar terlebih dulu, dan Jika para wanita sudah pergi, beliau diam agar para laki-laki tidak berbaur dengan para wanita.
وقال الإمام أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي الشافعي (ت ٦٧٦هـ) في كتابه "الأذكار" / كتاب السلام والاستئذان وتشميت العاطس وما يتعلق بها / فصل في المصافحة (ص ٢٦٦):
[واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به؛ فإن أصل المصافحة سُنّة، وكونُهم حافظوا عليها في بعض الأحوال وفرَّطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها لا يُخرِجُ ذلك البعضَ عن
كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها] اهـ،
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ╸Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf Al-Nawawiy Al-Syafi'iy (w. 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Al-Adzkar” / Kitab Salam Dan Izin Menjawab Orang Bersin Dan Yang Berhubungan Dengannya / Bab Tentang Berjabat Tangan (Hlm. 266):
Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.”
وقال الإمام أبو محمد عز الدين عبد العزيز بن عبد السلام بن أبي القاسم بن الحسن السلمي الدمشقي، الملقب بسلطان العلماء الشافعي (ت ٦٦٠هـ) في كتابه قواعد الأحكام في مصالح الأنام / فصل في الاقتصاد في المصالح والخيور (ج ٢ ص ٢٠٥):
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ . مِنْهَا : الْمُصَافَحَةُ عَقِيبَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ ، وَمِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيذِ مِنْ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلَابِسِ وَالْمَسَاكِنِ ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ ، وَتَوْسِيعِ الْأَكْمَامِ .
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ╸Imam Abu Muhammad Izzuddin Abdul-Aziz bin Abdul-Salam bin Abi al-Qasim bin Al-Hasan Al-Sulamiy Al-Dimashqiy Berjuluk Sultanu Al-Ulama' Al-Syafi'iy (w. 660 H), mengatakan dalam Kitabnya Qawa'idu Al-Ahkam Fi Mashalihi Al-Anam / Bab Fi Al Iqtishod Fi Al-Masholihi wa Al-Khuyur (Vol. 2, Hal. 205):
“Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: BERSALAMAN SETELAH SUBUH DAN ‘ASHAR, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.”
وجاء في كتاب حاشية البيجوري على شرح ابن قاسم على متن أبي شجاع للشيخ ابراهيم البيجوري الشافعي :
يَنوِي السلام على مَن التفت إليه مِن ملائكة ومؤمنِي إنسٍ وجِنٍّ إلى مُنقَطَع الدنيا، ويَنوِي الرَّدّ أيضا على مَن سَلَّمَ عليه مِن إمامٍ ومَأمُومٍ
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ╸Disebutkan dalam kitab Hashiyat Al-Baijuriy Syarhu Ibnu Qasim 'Ala Matni Abu Syuja’ karya Syaikh Ibrahim Al-Baijuriy Al-Syafi'iy:
Dia berniat memberi salam kepada orang-orang yang berpaling kepadanya, mulai dari para malaikat, orang mukmin, dari kalangan manusia dan jin hingga akhir dunia, dan dia juga berniat membalas salam kepada siapa pun yang memberi salam, baik imam maupun orang yang shalat di belakangnya.
قال الحافظ أحمد بن علي بن حجر العسقلاني الشافعي (٧٧٣ - ٨٥٢ هـ) في كتابه فتح الباري شرح صحيح البخاري / ٧٩ - كتاب الاستئذان / ٢٨ - باب الأخذ باليدين، وصافح حماد بن زيد ابن المبارك بيديه (ج ١١ ص ٥٥):
قَالَ النَّوَوِيُّ: وَأَصْلُ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ، وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَنْ أَصْلِ السُّنَّةِ. اهـ.
༄❁⊱•Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalaniy Al-Syafi'iy (773 - 852 H) mengatakan dalam kitabnya Fathu Al-Bariy Syarhu Shahih Al-Bukhariy / 79 - Kitab Izin / 28 - Bab Jabat Tangan, Dan Dia Berjabat Tangan Dengan Hammad Bin Zaid Ibn Al-Mubarak (Vol. 11, Hal. 55):
Imam Al-Nawawi berkata: Asal usul jabat tangan itu sunnah, dan fakta bahwa mereka melestarikannya dalam sebagian keadaan tertentu TIDAK MENYIMPANG DARI ASAL USUL SUNNAH TERSEBUT.
وجاء في كتاب فتاوى الرملي للامام شهاب الدين أحمد بن حمزة الأنصاري الرملي الشافعي (ت ٩٥٧هـ) / كتاب الصلاة / باب كيفية الصلاة (ج ١ ص ١٥٦):
( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫Hal itu tertuang dalam kitab Fatawa Al-Ramliy karya Imam Syihabuddin Ahmad bin Hamza Al-Anshariy Al-Ramliy Al-Shafi'iy (w. 957 H) / Kitab Shalat / Bab Tata Cara Sholat (Vol. 1 , Hal.156):
(Imam Ramli Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu Sunnah atau tidak?
(Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa BERSALAMAN SETELAH SHALAT TIDAKLAH ADA DASARNYA, TETAPI ITU TIDAK MENGAPA.”
وجاء في كتاب الموسوعة الفقهية الكويتية / صادر عن: وزارة الأوقاف والشئون الإسلامية - الكويت / مصافحة / الحالات التي تسن فيها المصافحة (ج ٣٧ ص ٣٦٢):
قَال الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ: وَيُسْتَأْنَسُ بِذَلِكَ لِمَا تَطَابَقَ عَلَيْهِ النَّاسُ مِنَ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ فِي الْجَمَاعَاتِ لاَ سِيَّمَا فِي الْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ إِذَا اقْتَرَنَ بِهِ قَصْدٌ صَالِحٌ مِنْ تَبَرُّكٍ أَوْ تَوَدُّدٍ أَوْ نَحْوِهِ
༄❁⊱•Hal ini tertuang dalam Kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (Buku The Kuwaiti Jurisprudence Encyclopedia) / Issued By: Ministry Of Endowments And Islamic Affairs - Kuwait / Mushofahah / Keadaan Keadaan Yang Mana Jabat Tangan Sunnah Didalamnya (Vol. 37, Hal. 362):
Imam Al-Muhib Al-Thabariy berkata:
DEMIKIAN ITU DISUKAI, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika persentuhannya itu memiliki tujuan baik, berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau semisalnya.”
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ─╸ii)- MENURUT MADZHAB IMAM ABU HANIFAH
KETIKA ADA ORANG MENGULURKAN TANGAN UNTUK BERJABAT TANGAN seyogyanya ia tidak menolaknya dengan menarik tangannya enggan membalas
وجاء في كتاب مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح للعلامة علي بن (سلطان) محمد، أبو الحسن نور الدين الملا الهروي القاري الحنفي (ت ١٠١٤هـ) / كتاب الآداب / باب المصافحة والمعانقة (ج ٧ ص ٢٩٦٣):
إِذَا مَدَّ مُسْلِمٌ يَدَهُ لِلْمُصَافَحَةِ، فَلَا يَنْبَغِي الْإِعْرَاضُ عَنْهُ بِجَذْبِ الْيَدِ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنْ أَذًى يَزِيدُ عَلَى مُرَاعَاةِ الْأَدَبِ،
فَحَاصِلُهُ أَنَّ الِابْتِدَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ حِينَئِذٍ عَلَى الْوَجْهِ الْمَشْرُوعِ مَكْرُوهٌ لَا الْمُجَابَرِةَ، وَإِنْ كَانَ قَدْ يُقَالُ فِيهِ نَوْعُ مُعَاوَنَةٍ عَلَى الْبِدْعَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ،
*꧁࿐Hal itu tertuang dalam kitab Mirqatu Al-Mafatih Syarhu Al Misykah Al Mashobih karya Al 'Alamah Ali bin (Sultan) Muhammad, Abu Al-Hasan Nour Al-Din Al-Mulla Al-Harawi Al-Qari Al-Hanafi (wafat 1014 H) / Kitab Etiket (Adab) / Bab Berjabat Tangan Dan Berpelukkan (Vol. 7, Hal. 2963):
Jika seorang muslim mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, maka HENDAKLAH IA TIDAK MEMALINGKAN TANGANNYA DENGAN MENARIK TANGAN TERSEBUT, karena kerugian yang ditimbulkannya melebihi pada penjagaan tata krama,
Intinya memulai jabat tangan pada saat itu, menurut undang-undang yang berlaku, DIMAKRUHKAN, bukan mujabaroh (saling menjaga perasaan orang lain), dan meskipun dikatakan itu termasuk bentuk bantuan terhadap perilaku bid'ah.
وقال الإمام محمد بن علان الصديقي الشافعي الأشعري المكي الشافعي (ت ١٠٥٧ هـ) في كتابه الفتوحات الربانية على الأذكار النواوية / باب في مسائل تتفرع على السلام / فصل في المصافحة (ج ٥ ص ٣٩٩)؛
- على أنه إذا مَدَّ مسلمٌ يدَه إليه ليصافحه فلا ينبغي الإعراض عنه بجذب اليد؛ لِما يترتب عليه من أذًى بكسر خواطر المسلمين وجرح مشاعرهم، وذلك على سبيل "المُجابرة"، ودفعُ ذلك بجبر الخواطر مقدَّمٌ على مراعاة الأدب بتجنب الشيء المكروه عندهم؛ إذ من المقرر شرعًا أن درء المفاسد مقدم على جلب المصالح. على أن جمهور العلماء ومحققيهم على ترك التوسع
*꧁࿐Imam Muhammad bin Allan Al-Siddiqi Al-Syafi'iy Al-Asy'ariy Al-Makkiy Asy Syafi'iy (w. 1057 H) mengatakan dalam Kitabnya Al-Futuhaatu Al-Rubaniyyah 'Ala Al Adzkar An-Nawawiyyah / Bab Permasalahan yang Bercabang pada Permasalahan Salam / Bab Jabat Tangan (Vol. 5, Hal. 399);
Bahwa jika seorang muslim mengulurkan tangannya kepadanya untuk bersalaman MAKA TIDAK SEPANTASNYA MENOLAK DENGAN MENARIK TANGANNYA. KARENA PERBUATAN ITU BERAKIBAT MENYAKITI HATI MUSLIMIN DAN MELUKAI PERASAAN MEREKA. Hal itu diistilahkan mujabaroh atau saling menjaga perasaan orang lain, masuk dalam hal ini menjaga perasaan , lebih didahulukan dari pada menjaga adab dengan menjauhi sesuatu yang makruh disisi mereka. Karena, sebagaimana ketetapan syareat bahwa mencegah kemudlorotan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.
وقال العلامة أبو الحسن عبيد الله بن محمد عبد السلام بن خان محمد بن أمان الله بن حسام الدين الرحماني المباركفوري (ت ١٤١٤هـ) في كتابه مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح / ١٧ - باب الدعاء في التشهد / الفصل الأول (ج ٣ ص ٣٠٣):
كان من عادته -ﷺ- أنه إذا سلم تحول عن القبلة ، وانحرف يميناً أو شمالاً ، ولم يمكث مستقبل القبلة ، فإن كان هناك حاجة وضرورة إلى خطاب الناس جلس مستقبلاً لجميع المؤتمين ، وخاطبهم وكلمهم، وإن لم يكن هناك شيء يتعلق بخطاب القوم فتارة جلس منحرفاً يمنة بأن يجعل يمينه إلى القوم ويساره إلى القبلة ، وتارة جلس منحرفاً يسرة بأن جعل يساره إلى القوم ويمينه إلى القبلة، وتارة لا يجلس، بل يذهب إلى جهة حاجته سواء كانت عن يمينه أو عن شماله " .انتهى
*꧁࿐Al 'Alamah Abu Al-Hasan Ubaidullah bin Muhammad Abdussalam bin Khan Muhammad bin Amanillah bin Hisamuddin Al-Rahmaniy Al-Mubarakfuriy (w. 1414 H) mengatakan dalam Kitabnya Mir'atu Al-Mafatih Syarhu Mishkatu Al-Masabih / 17 - Bab Doa dalam Tasyahud / Bab Satu (Vol. 3, Hal. 303):
Sudah menjadi kebiasaan Nabi -ﷺ- bahwa ketika beliau usai mengucapkan salam, beliau berpaling dari kiblat dan beranjak berpindah ke kanan atau ke kiri, dan tidak lagi menghadap kiblat, Jika ada kebutuhan dan keperluannya untuk menyapa umat, beliau duduk menghadap seluruh umat beriman, menyapa dan berbicara kepada mereka, dan jika tidak ada sesuatupun yang berhubungan dengan sapaan umat, kadang-kadang menjadikan sebelah kanannya duduk menghadap jamaah dan sebelah kirinya menghadap kiblat, dan kadang sebaliknya menjadikan sebelah kirinya menghadap jamaah dan sebelah kanannya menghadap kiblat, dan kadang-kadang beliau tidak duduk, melainkan pergi ke arah sesuai dengan yang diinginkannya, apakah itu di sebelah kanannya atau di sebelah kirinya. Selesai.
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ─╸iii)- MENURUT MADZHAB IMAM AHMAD BIN HANBAL
BERSALAMAN SETELAH SHALAT ADALAH BID'AH bukan hal yang disunnahkan
قال شيخ الإسلام شيخ الإسلام أحمد بن تيمية الحنبلي في كتابه مجموع الفتاوى / باب صلاة الجماعة / سئل عن المصافحة عقيب الصلاة، هل هي سنة أم لا؟ (ج ٢٣ ص ٣٣٩):
وَسُئِلَ:عَنْ الْمُصَافَحَةِ عَقِيبَ الصَّلَاةِ: هَلْ هِيَ سُنَّةٌ أَمْ لَا؟ .
فَأَجَابَ:الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْمُصَافَحَةُ عَقِيبَ الصَّلَاةِ لَيْسَتْ مَسْنُونَةً بَلْ هِيَ بِدْعَةٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. انتهى.
*꧁࿐Syaikh Al-Islam Ahmad bin Taymiyyah Al-Hanbaliy mengatakan dalam bukunya Majmu’ Al-Fatawa / Bab Tentang tentang Sholat Berjamaah: Ditanya Tentang Berjabat Tangan Setelah Shalat, Sunnah Atau Tidak? (Vol. 23, Hal. 339):
(Beliau Imam Ibnu Taimiyxah ditanya): Tentang berjabat tangan setelah shalat: Sunnah atau tidak? .
(Beliau menjawab): Alhamdulillah, berjabat tangan setelah shalat BUKANLAH SUNNAH, MELAINKAN BID’AH dan Allah SWT yang Maha Mengetahui.
وقال الإمام شمس الدين، أبو العون محمد بن أحمد بن سالم السفاريني الحنبلي (المتوفى : ١١٨٨هـ) في كتابه غذاء الألباب في شرح منظومة الآداب / مطلب: أول من صافح وعانق سيدنا إبراهيم عليه السلام (ج ١ ص ٣٢٨):
سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ - أَغْدَقَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ عَلَى رُوحِهِ الزَّكِيَّةِ - عَنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَالْفَجْرِ هَلْ هِيَ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ أَمْ لَا؟
أَجَابَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِقَوْلِهِ: أَمَّا الْمُصَافَحَةُ عَقِبَ الصَّلَاةِ فَبِدْعَةٌ لَمْ يَفْعَلْهَا رَسُولُ اللّٓـهِ -ﷺ- وَلَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ انْتَهَى.
قُلْت: وَظَاهِرُ كَلَامِ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ مِنْ الشَّافِعِيَّةِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ. وَظَاهِرُ كَلَامِ الْإِمَامِ النَّوَوِيِّ أَنَّهَا سُنَّةٌ.
قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِي شَرْحِ الْبُخَارِيُّ قَالَ النَّوَوِيُّ: وَأَصْلُ الْمُصَافَحَةِ سَنَةٌ، وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَنْ أَصْلِ السُّنَّةِ.
*꧁࿐Imam Syamsuddin, Abu Al-'Aun Muhammad bin Ahmad bin Salim Al-Safariniy Al-Hanbaliy (meninggal: 1188 H) mengatakan dalam Kitabnya Ghidza'u Al-Albab Fi Syarhi Mandzumatu Al-Adab / Mattalub: Yang Pertama Kali Berjabat Tangan Dan Berpeluklah Adalah Sayyidina Ibrahim 'Alaihissalam (Vol. 1, Hal. 328):
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah – semoga Allah melimpahkan rahmat pada ruhnya yang suci – ditanya tentang berjabat tangan setelah salat zuhur dan salat subuh, apakah sunah yang dianjurkan atau tidak?
Beliau menjawab – semoga Allah meridhoinya – dengan mengatakan: Adapun berjabat tangan setelah shalat, itu adalah inovasi (bid'ah) yang tidak dilakukan oleh Rasulullah -ﷺ- dan tidak ada seorang pun di antara manusia yang menyukainya, dari para ulama'.
Saya (Safariniy Al Hanbaliy) berpendapat : Makna yang tampak dari perkataan Ibnu Abdus-Salam dari kalangan Madzhab Asy Syafi'iy adalah bahwa itu ADALAH INOVASI YANG DIPERBOLEHKAN. Makna yang tampak dari perkataan Imam An-Nawawi adalah bahwa itu adalah Sunnah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Syarhu Al-Bukhariy, Imam Al-Nawawi berkata: Asal usul jabat tangan itu SUNNAH, dan mereka MELESTARIKANNYA DALAM KEADAAN TERTENTU TIDAK MENGELUARKANNYA DARI KESUUNNAHAN.
❁🌦️༄3]-MAKRUH BAGI IMAM MENGHADAP JAMA'AH YANG MAYORITAS PEREMPUAN SETELAH SELESAI SHALAT
Perlu dicatat bahwa hukum makruh ini berlaku jika tidak ada halangan, seperti adanya jamaah perempuan. Sedang jika ada halangan seperti adanya jamaah perempuan yang kita jumpai di banyak masjid maupun mushalla di kampung-kampung, maka tidak mengapa jika imam setelah shalat tetap menghadap ke kiblat, agar para wanita keluar terlebih dulu, dan jika para wanita sudah pergi, beliau diam sebentar agar para laki-laki tidak berbaur dengan para wanita.
Selain dari sebab Kemakruhan atau menghilangkan Kemakruhannya dengan mengubah posisinya, IMAM BOLEH BERDIAM DIRI DIMIHRABNYA HINGGA WAKTU SHALAT HABIS, seperti Rasulullah -ﷺ- sering menjadi Imam shalat subuh bagi para sahabatnya, beliau tidak pernah beranjak dari tempat shalatnya ketika subuh atau pagi hari hingga matahari terbit, jika matahari terbit, maka beliau baru beranjak pergi
*꧁࿐Riwayat Tentang Imam Boleh Berdiam Diri Lama Dipengimaman (Mihrabnya)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سِمَاكٌ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ :
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -ﷺ- قَالَ : نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ أَوْ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ
[رواه مسلم / كتاب المساجد ومواضع الصلاة / باب فضل الجلوس في مصلاه بعد الصبح، وفضل المساجد / حديث رقم: ١٥٢٥].
Dari Simak bin Harb katanya; aku bertanya kepada Jabir bin Samurah radliyyAllahu 'anhu; "Mungkin anda pernah duduk-duduk bersama Rasulullah -ﷺ-?
Beliau menjawab; "Ya, dan itu banyak kesempatan, Beliau -ﷺ- TIDAK PERNAH BERANJAK DARI TEMPAT SHALATNYA KETIKA SUBUH ATAU PAGI HARI HINGGA MATAHARI TERBIT, jika matahari terbit, maka beliau beranjak pergi. Para sahabat seringkali bercerita-cerita dan berkisah-kisah semasa jahiliyahnya, lantas mereka pun tertawa, namun beliau hanya tersenyum."
[HR. Muslim No. 1525]
*꧁࿐Riwayat Tentang Imam MAKRUH Berdiam Diri Lama Dipengimaman (Mihrabnya)
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ أَبِي عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ :
كَانَ رَسُولُ اللَّـهِ -ﷺ- إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ : تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّـهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّـهَ
[رواه مسلم / كتاب المساجد ومواضع الصلاة / باب استحباب الذكر بعد الصلاة، وبيان صفة / حديث رقم: ١٣٣٤].
Dari Tsauban radliyyAllahu 'anhu beliau berkata;
"Jika Rasulullah -ﷺ- selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKROOM (Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan." Kata Walid; maka kukatakan kepada Auza'i : "Lalu bagaimana bila hendak meminta ampunan?" Jawabnya; 'Engkau ucapkan saja Astaghfirullah, Astaghfirullah."
[HR. Muslim No. 1334]
وجاء شرح النووي على مسلم (المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج) للإمام أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي الشافعي (المتوفى: ٦٧٦ هـ):
قَوْله ( إِذَا اِنْصَرَفَ مِنْ صَلَاته اِسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا ) الْمُرَاد بِالِانْصِرَافِ السَّلَامُ.
*꧁࿐Tersebut dalam Syarhu Al-Nawawi 'Ala Muslim (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu Al-Hajjaj) karya Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf Al-Nawawiy Al-Syafi’iy (almarhum: 676 H):
Ucapannya (ketika selesai dari shalatnya, beliau memohon ampun sebanyak tiga kali) yang dimaksud dengan "selesai" adalah adalah bacaan salam.
قال العلامة أبو العلا محمد عبد الرحمن بن عبد الرحيم المباركفورى (ت ١٣٥٣ هـ) في كتابه تحفة الاحوذي شرح سنن الترمذي/ ٢ - أبواب الصلاة / باب ما يقول إذا سلم من الصلاة (ج ٢ ص ١٦٥ - ١٦٦):
قَوْلُهُ (إِذَا سَلَّمَ لَا يَقْعُدُ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ إِلَخْ) أَيْ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ فَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ قُعُودُهُ -ﷺ- بَعْدَ السَّلَامِ أَزْيَدَ مِنْ هَذَا الْمِقْدَارِ. انتهى.
وقال الإمام محمد بن علي بن محمد بن عبد الله الشوكاني اليمني (ت ١٢٥٠هـ) في كتابه نيل الأوطار / أبواب صفة الصلاة / باب الانحراف بعد السلام وقدر اللبث بينهما واستقبال المأمومين (ج ٢ ص ٣٦٠):
وَسَاقَهُ الْمُصَنِّفُ هَهُنَا لِلِاسْتِدْلَالِ بِهِ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ قِيَامِ الْإِمَامِ مِنْ مَوْضِعِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ بَعْدَ سَلَامِهِ وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ إلَى كَرَاهَةِ الْمَقَامِ لِلْإِمَامِ فِي مَكَانِ صَلَاتِهِ بَعْدَ السَّلَامِ.
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫i)-MENURUT MALIKIYYAH
MAKRUH BAGI IMAM BERDIAM DIRI ATAU MELAKUKAN SHOLAT SUNAH (rawatib ba’diah) di mihrab (pengimamannya),
قال الإمام أبو عبد الله محمد الخرشي المالكي في كتابه شرح الخرشي على مختصر خليل / باب الوقت المختار / فصل صلاة الجماعة (ج ٢ ص ٣٠):
وَكُرِهَ تَنَفُّلُ الْإِمَامِ بِمِحْرَابِ الْمَسْجِدِ وَكَذَا جُلُوسُهُ فِيهِ بَعْدَ سَلَامِهِ عَلَى هَيْئَتِهِ الْأُولَى إمَّا خَوْفَ الْإِلْبَاسِ عَلَى الدَّاخِلِ فَيَظُنُّهُ فِي الْفَرْضِ فَيَقْتَدِي بِهِ أَوْ خَوْفَ الرِّيَاءِ أَوْ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ الْمَكَانَ إلَّا فِي وَقْتِ الْإِمَامَةِ وَيَخْرُجُ مِنْ الْكَرَاهَةِ بِتَغْيِيرِ هَيْئَتِهِ, لِخَبَرِ «كَانَ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - إذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ»
قَالَ الثَّعَالِبِيُّ : وَهَذَا هُوَ السُّنَّةُ وَنَحْوُهُ لِابْنِ أَبِي جَمْرَةَ وَصَاحِبِ الْمَدْخَلِ.
*꧁࿐Imam Abu Abdullah Muhammad Al-Kharasyiy Al-Malikiy mengatakan dalam Kitabnya Syarhu Al-Kharasyiy 'Ala Mukhtashar Khalil / Bab tentang Waktu yang Dipilih / Bab tentang Shalat Berjamaah (Vol. 2, Hal. 30):
MAKRUH bagi imam melakukan sholat sunah (rawatib ba’diah) di mihrab (pengimamannya), demikian pula duduknya seperti posisinya sebagai imam (pent. tidak menghadap makmum), karena takut akan membingungkan bagi orang yang terlambat (masbuq), yang mengira dirinya masih melakukan shalat fardlu kemudian masbuq tadi mengikutinya, atau karena takut akan mendatangkan riya', atau karena ia tidak berhak mendapat tempat itu kecuali pada saat mengimami, dan bisa keluar dari hukum makruh dengan sebab semua itu, dengan mengubah posisi duduknya (seperti geser kekanan atau kekiri menghadap ma'mum), berdasarkan riwayat : “Ketika beliau -ﷺ- melakukan shalat, beliau akan menghadap orang-orang dengan wajahnya.”
Al-Tsa'alibiy berkata : ini adalah SUNNAH, dan sejenisnya oleh Imam Ibnu Abi Jamrah dan pengarang Kitab Al Madkhol.
*꧁࿐Detail Alasan Kemakruhan Imam Tetap Duduk Tanpa Mengubah Posisinya Setelah Mengucap Salam Sebagai berikut :
(Pertama), agar makmum yang ketinggalan (masbuk) tidak salahpaham bahwa sholat sudah selesai.
Jika tidak mengubah posisi imam, bisa-bisa makmum yang tertinggal begitu masuk sholat langsung duduk tasyahud. Padahal imam sedang dzikir.
(Kedua), status ke-imamannya sudah gugur setelah dia mengucapkan salam. Sehingga tidak berhak lagi berada dalam posisi imam.
(Ketiga), menjaga imam dari penyakit riya’.
Karena posisi imam adalah posisi yang rawan mendatangkan perasaan sombong dan ingin dimuliakan. Sehingga mengubah posisi dengan menghadapkan wajah ke arah makmum, dapat mencegah dari perasaan ini.
(Lihat Kitab Mawahibu Jalik Syarah Mukhtasor Al- Kholil : Juz 2 Hal 30. Karya Imam Al Kharasyiy Al Malikiy. Dan Kitab Fathul Bâriy Syarhu Shahih Al Bukhariy: Juz 3 Hal 89].
وذكره الإمام شمس الدين أبو عبد الله محمد بن محمد بن عبد الرحمن الطرابلسي المغربي، المعروف بالحطاب الرُّعيني المالكي (ت ٩٥٤هـ) في كتابه مواهب الجليل في شرح مختصر خليل / كتاب الصلاة / فصل من تكره إمامته (ج ٢ ص ١٠٨). وزاد عن ابن أبي جمرة :
وَعَلَى هَذَا أَدْرَكْت بِالْأَنْدَلُسِ كُلَّ مَنْ لَقِيتُ مِنْ الْأَئِمَّةِ الْمُقْتَدَى بِهِمْ فِي غَالِبِ الْأَمْرِ يُقْبِلُونَ بِوُجُوهِهِمْ عَلَى الْجَمَاعَةِ مِنْ غَيْرِ قِيَامٍ،
قَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ : وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي لَا مَحِيدَ عَنْهُ وَعَلَيْهِ أَدْرَكْنَا الْأَئِمَّةَ فِي الْجَوَامِعِ الْمُعَظَّمَةِ وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -ﷺ- لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ» وَهُوَ نَصٌّ جَلِيٌّ يُوَافِقُ مَا تَقَدَّمَ انْتَهَى.
*꧁࿐Imam Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrahman Al-Tharabulsiy Al-Maghribiy yang dikenal sebagai Al-Hathab Al-Ru'ainiy Al-Malikiy (w. 954 H), menyebutkannya dalam Kitabnya Mawahibu Al-Jalil Fi Syarhi Mukhtashar Khalil / Kitab Shalat / Bab Tentang Orang-orang Yang Imamahnya Tidak Disukai (Vol. 2, Hal. 108). Dia menambahkan berdasarkan dari Ibnu Abi Jamrah:
Berdasarkan hal ini, saya menemukan di Andalusia (Spain = spanyol) bahwa semua imam yang saya temui dalam banyak kasus menghadapkan wajah mereka ke arah jama'ah tersebut tanpa berdiri.
Syaikh Abdurrahman berkata : dan inilah yang dikatakannya itu adalah kebenaran yang tidak dapat disesatkan, dan atas hal itu kami menemukan para imam di masjid-masjid besar, dan didalam Shahih Muslim Diriwayatkan dari riwayat Jabir bin Samurah radliyyAllahu 'anhu bahwa beliau berkata: “ Rasulullah -ﷺ- tidak bangun dari tempat dia melakukan shalat subuh sampai matahari terbit.” Ini adalah teks yang jelas yang setuju dengan apa yang terjadi sebelumnya.
وقال الإمام أبو الفضل زين الدين عبد الرحيم بن الحسين بن عبد الرحمن بن أبي بكر بن إبراهيم العراقي الشافعي (ت ٨٠٦هـ) في كتابه طرح التثريب في شرح التقريب (المقصود بالتقريب: تقريب الأسانيد وترتيب المسانيد) / باب الجلوس في المصلى وانتظار الصلاة / فائدة المراد بصلاة الملائكة عليه (ج ٢ ص ٣٦٧):
{الثَّالِثَةُ} مَا الْمُرَادُ بِمُصَلَّاهُ؟ هَلْ الْمُرَادُ الْبُقْعَةُ الَّتِي صَلَّى فِيهَا مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى لَوْ انْتَقَلَ إلَى بُقْعَةٍ أُخْرَى فِي الْمَسْجِدِ لَمْ يَكُنْ لَهُ هَذَا الثَّوَابُ الْمُتَرَتِّبُ عَلَيْهِ أَوْ الْمُرَادُ بِمُصَلَّاهُ جَمِيعُ الْمَسْجِدِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ؟ ...(الى ان قال)...
فِي رِوَايَةِ التِّرْمِذِيِّ فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِمُصَلَّاهُ جَمِيعُ الْمَسْجِدِ وَهُوَ وَاضِحٌ
*꧁࿐Imam Abu Al-Fadl Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman bin Abi Bakr bin Ibrahim Al-Iraqiy Al-Syafi'iy (w. 806 H) mengatakan dalam kitabnya Tharhu Al-Tatsrib Fi Syarhi Al-Taqriib (Yang dimaksud dengan taqrib adalah :Taqribu Al Asanid Wa Tartibu Al Masanid) / Bab Tentang Duduk Di Tempat Shalat Dan Menunggu Shalat / Kemaslahatan Yang Dimaksud Dengan Shalawat Para Malaikat Padanya (Vol. 2, Hal. 367):
{Ketiga} Apa yang dimaksud dengan mushollanya? Apakah yang dimaksud dengan tempat shalat di masjid, sampai ia pindah ke tempat lain di masjid itu, pahalanya tidak akan ia peroleh? Ataukah yang dimaksud dengan Mushollanya adalah seluruh masjid tempat ia shalat? ...(sampai ia berkata)...
Dalam riwayat Al-Tirmidzi hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan wilayah salat (mushollahu) adalah seluruh masjid, dan itu yang jelas.
💫᪇𖧷۪۪ᰰ⃟ꦽ⃟ ─╸MENURUT HANABILLAH
DIMAKRUHKAN tetapnya imam dalam waktu yang lama menghadap kiblat sepanjang di situ tidak ada jamaah perempuan.
قال الإمام منصور بن يونس بن بن إدريس البهوتى الحنبلي (ت ١٠٥١ هـ) في كتابه شرح منتهى الإرادات - المسمى: «دقائق أولي النهى لشرح المنتهى» / باب صلاة الجماعة / فصل في الاقتداء (ج ١ ص ٢٨٤):
وَ) يُكْرَهُ (مُكْثُهُ) أَيْ: الْإِمَامِ (كَثِيرًا) بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ (مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَلَيْسَ ثَمَّ) بِفَتْحِ الْمُثَلَّثَةِ، أَيْ: هُنَاكَ (نِسَاءٌ) لِحَدِيثِ عَائِشَةَ: كَانَ النَّبِيُّ -ﷺ- إذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْك السَّلَامُ تَبَارَكَتْ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ"
*꧁࿐Imam Manshur bin Yunus bin bin Idris Al-Buhutiy Al-Hanbaliy (w. 1051 H) mengatakan dalam Kitabnya Syarhu Muntaha Al-Iradat – berjudul-: “Daqaaqi Uli Al-Nuha Li Syarhi Al-Muntaha / Bab Sholat Berjamaah / Bab Tentang Berma'mum (Vol. 1, Hal. 284):
DAN DIMAKRUHKAN TETAPNYA IMAM DALAM WAKTU YANG LAMA MENGHADAP KIBLAT SEPANJANG DI SITU TIDAK ADA JAMAAH PEREMPUAN. Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Sayyidatna A’isyah radliyyAllahu 'anha: Bahwa Nabi -ﷺ- ketika telah selesai mengucapkan salam beliau tidak duduk kecuali sekedar beliau membaca: Allahumma anta as-salam, wa minka as-salam tabarakta ya dzal jalali wa al-ikram”.
༄🌤️❁3]-WAKTU IMAM BERBALIK MENGHADAP JAMA'AH
YANG SERING DILAKUKAN RASULULLAH -ﷺ- KETIKA MENJADI IMAM BELIAU BERBALIK KE ARAH MAKMUM DENGAN CARA BERPUTAR KE ARAH KANAN, sebagaimana dalam hadist Sahabat Al-Barra’ bin ‘Adzib radhiyallahu ‘anhu.
NAMUN JUGA BOLEH BERPUTAR KE ARAH KIRI. Sebagaimana dalam hadis dari Hulb Ath-Tha’i radhiyyAllahu ‘anhu,
DAN WAKTU BERBALIKNYA MENGHADAP JAMA'AH SETELAH KADAR BACAAN Allahumma anta as-salam, wa minka as-salam tabarakta ya dzal jalali wa al-ikram
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ :
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ فَيُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ -ﷺ-.
[رواه أبو داود واللفظ له / كتاب الصلاة / باب الإمام ينحرف بعد التسليم / حديث رقم: ٦١٥].
Dari Al Barra' bin 'Adzib radliyyAllahu 'anhu beliau berkata :
"Kami apabila mengerjakan shalat di belakang Rasulullah -ﷺ-, kami suka berada di sebelah kanan beliau, karena beliau menghadap kepada kami dengan wajahnya -ﷺ- (setelah salam).
[HR. Abu Dawud No. 615].
وقال العلامة محمد أشرف بن أمير بن علي بن حيدر، أبو عبد الرحمن، شرف الحق، الصديقي، العظيم آبادي (ت ١٣٢٩هـ) في كتابه عون المعبود شرح سنن ابي داود / ٢ - كتاب الصلاة / باب الإمام يتطوع في مكانه الذي صلى فيه المكتوبة (ج ٢ ص ٢٢٧):
وَقِيلَ مَعْنَاهُ يُقْبِل عَلَيْنَا عِنْد الِانْصِرَاف ( فَيُقْبِل عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ -ﷺ- ) :
قَالَ الْحَافِظ فِي الْفَتْح : قِيلَ الْحِكْمَة فِي اِسْتِقْبَال الْمَأْمُومِينَ أَنْ يُعَلِّمهُمْ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ , فَعَلَى هَذَا يَخْتَصّ بِمَنْ كَانَ فِي مِثْل حَاله -ﷺ- مِنْ قَصْد التَّعْلِيم وَالْمَوْعِظَة ,
وَقِيلَ الْحِكْمَة فِيهِ تَعْرِيف الدَّاخِل بِأَنَّ الصَّلَاة اِنْقَضَتْ إِذْ لَوْ اِسْتَمَرَّ الْإِمَام عَلَى حَاله لَأَوْهَمَ أَنَّهُ فِي التَّشَهُّد مَثَلًا.
وَقَالَ الزَّيْن بْن الْمُنِير : اِسْتِدْبَار الْإِمَام الْمَأْمُومِينَ إِنَّمَا هُوَ لِحَقِّ الْإِمَامَة فَإِذَا اِنْقَضَتْ الصَّلَاة زَالَ السَّبَب , فَاسْتِقْبَالهمْ حِينَئِذٍ يَرْفَع الْخُيَلَاء وَالتَّرَفُّع عَلَى الْمَأْمُومِينَ وَاَللَّه أَعْلَم. اِنْتَهَى.
*꧁࿐Al 'Alamh Muhammad Ashraf bin Amir bin Ali bin Haider, Abu Abdurrahman, Syarafu Al-Haqq, Al-Siddiqi, Al-Adzim Abadi (w. 1329 H) mengatakan dalam Kitabnya Aunu Al-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud / 2 - Kitab Sholat / Bab: Imam Yang Melakukan Shalat Sunnah Di Tempat Ia Salat Fardhu (Vol. 2, Hal. 227):
Dikatakan bahwa maknanya adalah “beliau menghadap kearah kita ketika bubar” (beliau menghadap kepada kita dengan wajahnya -ﷺ-):
Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath: Dikatakan bahwa hikmah dalam menghadapnya kehadapan kaum mu'minin untuk mengajarkan kepada mereka apa yang mereka butuh terhadapnya, maka hal ini khusus hanya berlaku bagi seseorang yang berada dalam keadaan serupa dengannya -ﷺ-, dari tujuan mengajar dan berdakwah.
Dikatakan bahwa hikmah di baliknya adalah agar orang yang masuk (ma'mum masbuq) dapat mengetahui bahwa shalat telah selesai, karena jika imam tetap seperti itu, masbuq akan digiring pada ilusi bahwa imam masih dalam tasyahud, misalnya.
Al-Zayn bin Al-Munir berkata: Imam membelakangi para ma'mum hanya untuk hak imamah saja. Ketika shalat selesai, maka hilanglah sebabnya, maka menghadapnya kearah mereka dalam hal itu dapat menimbulkan Kebanggaan dan merasa lebih tinggi atas para ma'mum, dan Allah Maha Mengetahui.
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫Hal tersebut (berputar kearah kanan setelah shalat) yang paling sering dilakukan oleh Rasulullah -ﷺ-. Namun juga boleh kadang berputar ke arah kiri. Sebagaimana dalam hadis dari Hulb Ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu,
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ هُلْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -ﷺ- يَؤُمُّنَا فَيَنْصَرِفُ عَلَى جَانِبَيْهِ جَمِيعًا عَلَى يَمِينِهِ وَعَلَى شِمَالِهِ
وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَأَنَسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ هُلْبٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ يَنْصَرِفُ عَلَى أَيِّ جَانِبَيْهِ شَاءَ إِنْ شَاءَ عَنْ يَمِينِهِ وَإِنْ شَاءَ عَنْ يَسَارِهِ وَقَدْ صَحَّ الْأَمْرَانِ عَنْ النَّبِيِّ -ﷺ- وَيُرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَالَ إِنْ كَانَتْ حَاجَتُهُ عَنْ يَمِينِهِ أَخَذَ عَنْ يَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ حَاجَتُهُ عَنْ يَسَارِهِ أَخَذَ عَنْ يَسَارِهِ
[رواه أبو داود والترمذي واللفظ له / أبواب الصلاة / باب ما جاء في الانصراف عن يمينه، وعن يساره / حديث رقم: ٣٠١].
Dari Qabishah bin Hulb. DARI Ayahnya beliau berkata; "Rasulullah -ﷺ- mengimami kami shalat, lalu beliau berlalu dari dua sisi, kadang dari sisi kanan dan kadang dari sisi kiri."
Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Anas, Abdullah bin 'Amru dan Abu Hurairah."
Abu Isa (At Tirmidziy) berkata; "HADITS HULB DERAJATNYA HASAN SHAHIH.
Hadits ini diamalkan oleh para ahli ilmu. Yakni, bahwsanya beliau pergi dari dua arah; kadang dari kanan dan kadang dari kiri, jika beliau berkehendak. Keduanya shahih dari Nabi -ﷺ-."
Telah diriwayatkan pula dari Ali bin Abu Thalib bahwasanya ia berkata; "Jika kepentingannya adalah dari arah kanan maka hendaklah ia pergi dari arah kanan, dan jika kepentingannya adalah dari arah kiri maka hendaklah ia pergi dari arah kiri."
[HR. Abu Daud no. 1041. Teks Milik At-Tirmidzi no. 301. Dan Ia Berkata : HADITS HASAN]
وقال الإمام محمد بن أبي بكر بن أيوب بن سعد شمس الدين ابن قيم الجوزية الحنبلي (ت ٧٥١هـ) في كتابه زاد المعاد في هدي خير العباد / فصول في هديه -ﷺ- في العبادات / فصل فيما كان رسول الله -ﷺ- يقوله بعد انصرافه من الصلاة (ج ١ ص ٢٨٥):
كان -ﷺ- إذا سلم استغفر ثلاثاً، وقال: “اللهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، ومنكَ السلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ” ولم يمكث مستقبِلَ القِبلة إلا مقدارَ ما يقولُ ذلك ، بل يُسرع الانتقالَ إلى المأمومين ، وكان ينفتِل عن يمينه وعن يساره
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫Imam Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Saad Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Al-Hanbaliy (w. 751 H) mengatakan dalam Kitabnya Zadu Al-Ma'ad Fi Hadyi Khoiri Al 'Ibadi / Bab Bimbingan-Nya -ﷺ- Dalam Beribadah / Sebuah bab tentang apa yang biasa dikatakan oleh Rasulullah -ﷺ- Setelah Kepergiannya Dari Shalat (Vol. 1, Hal. 285):
“Biasanya Nabi -ﷺ- setelah salam beliau istigfar 3x. Beliau lalu mengucapkan, ‘Allohumma antas salam wa minkas salam tabarokta dzal jalali wal ikrom.’ BELIAU TIDAK DUDUK BERDIAM MENGHADAP KIBLAT, KECUALI SEKADAR MENGUCAPKAN ITU SAJA. KEMUDIAN, BELIAU BERSEGERA MENGHADAP PARA MAKMUM. Terkadang beliau memutar badan ke sisi kanan dan terkadang ke sisi kiri.”
༄🌤️❁4]-MAKMUM BOLEH PERGI SEBELUM IMAM BERBALIK MENGHADAP JAMA'AH
Hukumnya mustahab bagi makmum untuk berdiam diri selama imam belum berbalik. Lebih utama demikian. Berdasarkan hadits riwayat Sahabat Anas radliyyAllahu 'anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ قَالَ ابْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ الْمُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ :
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -ﷺ- ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ فَإِنِّي أَرَاكُمْ أَمَامِي وَمِنْ خَلْفِي ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ رَأَيْتُمْ مَا رَأَيْتُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا قَالُوا وَمَا رَأَيْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ ابْنِ فُضَيْلٍ جَمِيعًا عَنْ الْمُخْتَارِ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ -ﷺ- بِهَذَا الْحَدِيثِ وَلَيْسَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ وَلَا بِالِانْصِرَافِ
[رواه مسلم / كتاب الصلاة / باب تحريم سبق الإمام بركوع أو سجود ونحوهما / حديث رقم: ٩٦١].
Dari Anas radliyyAllahu 'anhu beliau berkata :
"Rasulullah shalat mengimami kami pada suatu hari, ketika beliau telah menyelesaikan shalat, maka beliau menghadap kami dengan wajahnya seraya bersabda, 'Wahai manusia, aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahului aku dengan rukuk, sujud, BERDIRI, DAN BERPALING DARI SHALAT. Karena aku melihat kalian dari arah depanku dan belakangku.' Kemudian beliau bersabda, 'Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di TanganNya, kalau kalian melihat sesuatu yang aku lihat, niscaya kalian akan sedikit tertawa, dan banyak menangis.' Mereka bertanya, 'Apa yang kamu lihat wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab, 'Aku melihat surga dan neraka'."
Telah menceritakan kepada kami : Qutaibah bin Sa'id. Telah menceritakan kepada kami : Jarir --(lewat jalur periwayatan lain)-- Dan telah menceritakan kepada kami : Ibnu Numair dan Ishaq bin Ibrahim. Dari Ibnu Fudhail, semuanya meriwayatkan dari Al-Mukhtar. Dari Anas radliyyAllahu 'anhu. Dari Nabi -ﷺ- dengan hadits ini, dan tidak ada dalam hadits Jarir ;
"JANGALAHr KALIAN MENDAHULUIKU DALAM BERPALING."
[HR. Muslim No. 961].
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫Pendapat yang masyhur dalam memahami hadits ini PENDAPAT YANG MASYHUR bahwa AL-INSHIRAF di sini MAKNANYA ADALAH SALAM, BUKAN BERBALIK KE HADAPAN MAKMUM. sebagaimana riwayat hadits Tsauban radliyyAllahu 'anhu.
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ أَبِي عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -ﷺ-. إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ : أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
[رواه مسلم / كتاب المساجد ومواضع الصلاة / باب استحباب الذكر بعد الصلاة، وبيان صفة / حديث رقم: ١٣٣٤].
Dari Tsauban radliyyAllahu 'anhu beliau berkata :
“Biasanya Rasulullah -ﷺ- ketika beliau INSHIRAFA (salam) dari shalatnya, beliau istighfar 3x.”
[HR. Muslim No. 1334].
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫 MENURUT SYAFI'IYYAH
وقال الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي (١٥٠ - ٢٠٤ هـ) في كتابه الأم / كتاب الصلاة / باب انصراف المصلي إماما أو غير إمام عن يمينه وشماله (ج ١ ص ١٥١):
وَلِلْمَأْمُومِ أَنْ يَنْصَرِفَ إذَا قَضَى الْإِمَامُ السَّلَامَ قَبْلَ قِيَامِ الْإِمَامِ وَأَنْ يُؤَخِّرَ ذَلِكَ حَتَّى يَنْصَرِفَ بَعْدَ انْصِرَافِ الْإِمَامِ ، أَوْ مَعَهُ أَحَبُّ إلَيَّ لَهُ .
*꧁࿐Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi'iy (150-204 H) mengatakan dalam Kitabnya Kitab Al Umm / Kitab Shalat / Bab Bergesernya Seorang Imam Atau Selain Imam, Di Sebelah Kanan Dan Kirinya (Vol. 1 , Hal.151):
Barangsiapa yang shalat di belakang seorang imam, BOLEH KELUAR SETELAH IMAM SELESAI SHALAT, SEBELUM IMAM BANGUN, dan dia mungkin menundanya dan pergi setelah imam pergi, atau pergi bersamanya, saya lebih menyukainya.
قال الإمام أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي الشافعي (ت ٦٧٦هـ) في كتابه المنهاج شرح صحيح مسلم ابن الحجاج / كتاب الصلاة / باب تحريم سبق الإمام بركوع أو سجود ونحوهما (ج ٤ ص ١٥٠):
" قَوْله -ﷺ- : ( لَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ ، وَلَا بِالْقِيَامِ ، وَلَا بِالِانْصِرَافِ ) فِيهِ تَحْرِيم هَذِهِ الْأُمُور وَمَا فِي مَعْنَاهَا , وَالْمُرَاد بِالِانْصِرَافِ : السَّلَام " انتهى.
*★᭄ꦿ࿐Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf Al-Nawawiy Al-Syafi'iy (w. 676 H) mengatakan dalam Kitabnya Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu Al-Hajjaj / Kitab Shalat / Bab Larangan Mendahului Imam Dengan Rukuk Atau Sujud Dan Semacam Keduanya (Vol. 4, Hal. 150):
Sabda Nabi Muhammad -ﷺ-: “maka janganlah kamu mendahuluiku dalam ruku’, sujud, berdiri atau salam” menunjukkan bahwa hal itu adalah hal yang benar. haram melakukan hal-hal ini dan hal-hal lain yang sejenis dengannya. Yang dimaksud dengan finishing (Inshirof) adalah salam.
╾─⃟ꦽ⃟𖧷۪۪ᰰ᪇ 💫 MENURUT HANABILLAH
وقال الإمام أبو محمد عبد الله بن أحمد بن محمد بن قدامة الحنبلي (٥٤١ - ٦٢٠ هـ) في كتابه المغني / مسألة إذا فرغ من صلاته وأراد الخروج منها / فصل الانصراف من الصلاة (ج ١ ص ٤٠٢):
وَيُسْتَحَبُّ لِلْمَأْمُومِينَ أَنْ لَا يَثِبُوا قَبْلَ الْإِمَامِ، لِئَلَّا يَذْكُرَ سَهْوًا فَيَسْجُدَ. انتهى
*꧁࿐Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisiy Al-Hanbaliy (541 - 620 H) mengatakan dalam Kitabnya Al-Mughniy / Persoalan Jika Selesai Shalat Dan Ingin Meninggalkannya / Bab Meninggalkan Sholat (Vol.1 , Hal.402):
DISUNNAHKAN bagi para ma'mum, agar tidak bangun dan meninggalkan sebelum imam, kalau-kalau dia teringat sesuatu yang dia lupa, maka bisa melakukan sujud sahwi.
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
Magelang :
٧ جمادى الأخيرة ١٤٤٥ هـ
20 Desember 2023 M